“Once you accept that your child will be different, not better or worse—just different—that’s the first step.” Memiliki anak berkebutuhan khusus memang tak pernah mudah. Dan pastinya akan makin sulit saat orang tua bersikap denial atau tak mau menerima kondisi sang buah hati.
Hal inilah yang langsung disadari oleh Wina Natalia (46), celebrity mom sekaligus ibu dari seorang anak dengan autism spectrum disorder, Sigra Umar Narada (8). Wina memilih untuk menerima kondisi Sigra agar bisa segera memberikan penanganan terbaik baginya.
Lantas apa saja treatment yang diberikan Wina kepada Sigra? Bagaimana ia dan suami, Anji (44), memberi pengertian mengenai kondisi Sigra sebagai anak istimewa kepada sang kakak, Saga Omar Nagata (10)? Simak selengkapnya dalam wawancara khusus M&B bersama Wina Natalia yang menjadi Mom of the Month September 2023.
Apa saja kegiatan Wina saat ini?
Saat ini kegiatan saya selain mengurus anak juga memiliki beberapa bisnis. Tapi tetap bisnisnya yang bisa dikerjakan di rumah atau dipantau dari rumah. Salah satunya adalah tempat wisata di Gunung Puntang, Bandung Selatan. Di sana ada tempat bernama Nagara Puntang. Selain tempat wisata, di sana juga ada kedai kopi bernama Berg.
Dua anak Anda masih usia sekolah dan masih memerlukan perhatian ekstra? Lalu Anda juga memiliki beberapa bisnis yang harus dikelola. Bagaimana cara membagi waktu antara mengurus keluarga dan bisnis?
Nah, kebetulan banget bisnis yang saya jalani bisa dikerjakan dari rumah. Mengingat saya juga punya rekan bisnis, jadi saya hanya memantau dari rumah dan tidak perlu setiap saat datang ke sana. Jadi, tidak sulit untuk membagi waktunya.
Masalah utama yang sering terjadi saat memiliki anak istimewa adalah orang tua yang denial, orang tua yang malu. Hal seperti ini cukup sering terjadi.
Salah satu anak Anda, Sigra, merupakan anak istimewa. Boleh diceritakan bagaimana Anda dan suami mengetahui bahwa sang buah hati memerlukan perhatian khusus?
Saya memiliki 4 orang anak laki-laki dan semuanya speech delay. Tiga orang anak, semuanya baru bisa berbicara memasuki usia 2,5 tahun. Saat Sigra, anak saya terakhir, belum bisa berbicara ketika usianya sudah menginjak 2 tahun, maka saya berpikir dia akan sama dengan kakak-kakaknya. Ternyata hingga menjelang 2,5 tahun, Sigra belum juga menunjukkan tanda-tanda akan bisa berbicara.
Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk membawa Sigra berkonsultasi dengan dokter. Dan dokter pun mengatakan bahwa Sigra mengalami speech delay. Namun, kami tetap melakukan terapi karena merasa Sigra agak berbeda dengan kakak-kakaknya. Saat menjelang usia 2,5 tahun, kakak-kakaknya sudah mulai banyak berbicara, sedangkan Sigra belum mengalami hal itu.
Setelah menjalani terapi dan Sigra mendekati usia 3 tahun, tetap belum ada tanda-tanda dia akan bisa berbicara. Kami membawanya lagi ke beberapa dokter dan akhirnya pada usia 3 tahun, Sigra didiagnosis mengalami autism spectrum disorder atau autis.
Tapi ya, awal curiganya memang karena Sigra kesulitan berbicara dan lebih lama ketimbang ketiga kakaknya. Selain itu, Sigra juga tidak bisa melakukan kontak mata, dan sering tantrum atau marah-marah. Dia juga suka membenturkan kepala ke tembok. Pokoknya seperti anak tantrum dan berbeda dengan kakak-kakaknya.
Saya memilih sekolah reguler untuk Sigra karena saya beranggapan dia butuh untuk bisa bersosialisasi.
Proses apa saja yang sudah dilalui Sigra hingga saat ini?
Sejak usianya 3 tahun dan kami mengetahui bahwa Sigra adalah anak autis, dia sudah mengikuti berbagai terapi. Selain itu, dia juga melakukan diet makanan karena memang ada beberapa jenis makanan yang pantang untuk dikonsumsi.
Namun, yang membuat perkembangannya cukup baik adalah terapi. Hingga usia 5 tahun, Sigra rutin melakukan terapi. Hampir setiap hari Sigra mengikuti terapi. Setelah itu, kami memasukkannya ke sekolah yang ada program inklusinya. Sekolah reguler yang memiliki program inklusi.
Jadi, Sigra bersekolah bareng dengan kakaknya. Dia bersekolah bareng dengan anak reguler lainnya. Hanya, Sigra didampingi oleh shadow teacher. Jadi, ada satu guru khusus yang mendampingi Sigra.
Mengapa memilih sekolah reguler, bukan sekolah khusus untuk anak istimewa seperti Sigra?
Saya memilih sekolah reguler untuk Sigra karena saya beranggapan dia butuh untuk bisa bersosialisasi. Saya selalu berpikir bahwa dunia penuh dengan berbagai jenis manusia. Jadi, menurut saya, kalau Sigra ditempatkan di sekolah bagi anak-anak yang sama seperti dirinya, maka dia tidak akan belajar untuk berhadapan dengan jenis manusia yang lain.
Saya ingin Sigra belajar mengenal banyak jenis manusia. Saya ingin dia mengenal dunia yang sesungguhnya karena saya dan bapaknya tidak mungkin akan selalu ada mendampingi. Jadi, Sigra harus dipersiapkan menghadapi dunia sejak dini, sejak dia masih kecil.
Anak istimewa seperti Sigra harus tumbuh di keluarga yang penuh cinta kasih. Anak harus tahu bahwa dia disayangi dan diterima dengan baik.
Dukungan seperti apa yang diperlukan oleh anak-anak istimewa seperti Sigra?
Satu hal yang paling penting adalah acceptance dari keluarga, dari orang tua, saudara, kakek dan nenek. Kedua, anak istimewa seperti Sigra harus tumbuh di keluarga yang penuh cinta kasih. Anak harus tahu bahwa dia disayangi dan diterima dengan baik.
Apa tantangan terbesar sebagai orang tua dari anak istimewa?
Tantangan terbesar tentunya adalah harus memiliki kesabaran yang luar biasa. Kalau menghadapi anak reguler, kita sebagai orang tua sudah tahu, misalnya umur 5 tahun dia sudah harus bisa melakukan ini dan itu. Saat memasuki kelas 1 SD, anak sudah harus bisa melakukan ini dan itu.
Berbeda dengan anak istimewa. Ekspektasi kita sebagai orang tua tidak bisa terlalu tinggi. Saya pribadi, saat ini hanya berharap Sigra bisa bersosialisasi, dia bisa diterima lingkungannya, bisa berbaur, dan hal itu sudah sangat luar biasa. Dan ketika Sigra mampu memperlihatkan perkembangan yang signifikan, bagi saya hal tersebut sesuatu yang istimewa. Surprise banget.
Menurut Anda, apa hal terpenting yang harus dilakukan orang tua saat mengetahui bahwa mereka memiliki anak istimewa?
Pastinya, acceptance! Masalah utama yang sering terjadi saat memiliki anak istimewa adalah orang tua yang denial, orang tua yang malu. Hal seperti ini cukup sering terjadi.
Dan karena merasa malu, orang tua menjadi setengah-setengah dalam memberikan support bagi anaknya yang berkebutuhan khusus. Kalau sudah begitu, justru kasihan anaknya.
Apakah Anda merasa bahwa masih banyak salah persepsi soal anak istimewa di masyarakat? Alasannya?
Banyak banget. Saya sering mendengar, orang-orang melihat anak berkebutuhan khusus dengan sebelah mata atau tidak diterima di lingkungannya.
Itulah yang membuat saya senang dengan sekolah anak saya saat ini karena mereka memiliki program inklusi sehingga anak-anak reguler bisa punya empati yang tinggi terhadap teman-temannya yang berkebutuhan khusus. Saga dan Sigra bersekolah di tempat yang sama, jadi Saga tidak merasa aneh karena memiliki adik yang berkebutuhan khusus, karena sudah terbiasa melihat anak-anak lain seperti itu. Empatinya pun jadi lebih tinggi.
Sedangkan di luar sana, masih banyak orang yang tidak bisa menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Saya pun banyak sharing soal Sigra untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa seperti ini lho, anak berkebutuhan khusus. Mereka tidak untuk dijauhi atau dipandang sebelah mata. Pada dasarnya, mereka sama saja dengan anak-anak lain. Namun, harus diingat, anak berkebutuhan khusus bukan untuk dikasihani. Mereka hanya perlu di-support dan diterima dengan baik.
Saat Anda berhadapan dengan anak reguler, sesungguhnya sikap seperti apa yang diharapkan dari mereka terhadap Anda dan Sigra?
Di sekolah, Sigra punya bestie atau sahabat yang merupakan anak reguler. Mereka sudah tidak menganggap Sigra sebagai anak berkebutuhan khusus. Sikap seperti inilah yang diharapkan.
Saran dari Anda buat orang tua yang baru mengetahui bahwa buah hatinya termasuk anak istimewa?
Pastinya jangan malu. Denial hal yang wajar. Tapi orang tua harus berusaha untuk segera menerima fakta bahwa mereka memiliki anak yang istimewa. Saya juga sempat denial. Saya sempat merasa sedih dan sempat menangis saat mengetahui kondisi Sigra. Akan tetapi, jangan biarkan kondisi ini berlama-lama.
Semakin lama kita berada dalam fase denial, maka kita tidak akan melakukan sesuatu untuk anak. Jadi, harus cepat sadar bahwa anak kita perlu segera mendapat treatment khusus. Semakin cepat orang tua mencari solusi dari kondisi anak, maka progress-nya untuk menjadi lebih baik juga akan semakin cepat.
Harapan untuk Saga dan Sigra?
Semoga mereka selalu menjadi anak yang baik dan menjadi anak yang mampu membanggakan keluarganya. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Fotografer & Digital Imaging: Gustama Pandu/MUA: REZY ANDRIATI (IG: @rezyandriati)/Stylist: Gabriela Agmassini/Wardrobe Wina Natalia: Adia Lavani (@adialavani)/Wardrobe Saga & Sigra: Masimada (@masimadakidsapparel))