Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Week Spesial Hari Ibu 2023: Marthella Sirait

Mom of the Week Spesial Hari Ibu 2023: Marthella Sirait

Setelah melepas statusnya sebagai PNS selama 3 tahun, Marthella Sirait (32) akhirnya membentuk Koneksi Inklusif Indonesia atau dikenal dengan KONEKIN. Passion yang ia miliki terkait isu ilmu sosial dan pemberdayaan disabilitas membuatnya gigih dan makin gencar mengenalkan inklusivitas kepada masyarat luas.

Dan hal ini juga yang menjadi salah satu nilai penting yang Marthella ajarkan pada sang anak, Malo (22 bulan), mulai dari kebiasaan membaca buku hingga mengajak Malo bertemu dengan orang-orang yang beragam, yang tergabung di KONEKIN. Moms bisa makin mengenal sosok Marthella Sirait yang inspiratif dari setiap cerita yang dibagikannya bersama M&B sebagai Mom of the Week Spesial Hari Ibu 2023 berikut ini.

Marthella bukan seorang difabel, tapi kenapa mempelajari isu terkait disabilitas?

Jadi, pada 2013 aku ikut program Indonesia Mengajar, dan selama satu tahun aku ditempatkan di pedalaman Maluku, tepatnya di Kabupaten Tanimbar, yang sampai sekarang masih menjadi salah satu kabupaten tertinggal.

Untuk menjalani program tersebut, Aku ditawari untuk mengajar dan memilih calistung (baca, tulis, hitung). Aku pun menjadi guru dari 3 anak SD yang ternyata berkebutuhan khusus. Salah satu muridku ada yang celebral palsy, di mana sudah berusia 7 tahun tapi masih ngeces, jalannya pincang, dan dianggap cacat oleh warga di sana. Kemudian ada yang disleksia dan sudah 3 kali tinggal kelas karena tidak mampu menghubungkan huruf menjadi kata. Lalu, ada juga yang memiliki short-term memory loss, baru diajarkan sesuatu, tapi dalam 5 detik sudah langsung lupa.

Kondisi di desa yang terpencil, tidak ada listrik dan juga sinyal membuat orang tua mereka hampir menyerah dengan masa depan anak-anak ini. Mereka merasa anaknya terlahir cacat karena dosa, dan stigma ini masih sangat melekat di sana. Jadi, berkenalan dengan ketiga anak ini menjadi pembuka mata buatku untuk membantu mereka dan menyampaikan kepada orang tuanya bahwa anak-anak ini tetap punya masa depan.

Meskipun lulusan S1 Hubungan Internasional, tapi aku sendiri sudah jatuh cinta dengan ilmu sosial dan anak-anak sejak lama. Jadi, motivasi ini yang membuatku belajar lagi dan berjuang untuk mendalami isu disabilitas. Di 2015, aku ambil S2 di UK dengan tesis tentang pemberdayaan disabilitas sampai 2017 akhir, lalu kembali ke Indonesia. Dan dengan pengetahuan yang dirasa cukup, akhirnya aku berani membangun KONEKIN di 2018.

Mengapa sampai ingin membuat sebuah lembaga untuk memberdayakan disabilitas hingga terbentuk KONEKIN?

Dari awal KONEKIN dibangun, fokusnya adalah edukasi dan pemberdayaan disabilitas. Edukasinya bukan untuk teman-teman yang difabel, tapi justru untuk membuat masyarakat umum makin sadar dengan isu terkait disabilitas. Karena meskipun pemerintah memang sudah punya program tersendiri, tapi stigma dari masyarakat masih ada karena kesadarannya (awareness) yang belum terbangun.

Jadi, kita fokus mengadakan acara-acara untuk memancing kepedulian masyarakat tentang inklusi disabilitas. KONEKIN juga bukan lembaga charity based yang ingin mencari donasi, tapi justru kami ingin berkolaborasi dengan lembaga atau komunitas lain yang punya visi sama, yaitu empowering atau pemberdayaan.

Salah satu kegiatan yang kita jalani setiap bulan adalah Konkow Inklusif yang menjadi ruang karya bagi teman-teman disabilitas. Mereka bisa speak up dan berbicara sebagai narasumber dan pesertanya adalah para non-disabilitas. Tentu saja topik dan narasumbernya tidak asal dipilih, tapi konsep kegiatannya sendiri tidak kaku. Justru KONEKIN ingin isu ini menjadi yang dibicarakan sehari-hari oleh orang banyak. Makanya, kegiatan ini dilakukan di ruang publik dan siapa pun bisa ikut bergabung dalam obrolan tentang inklusivitas dan disabilitas tersebut.

Selain itu, tentu ada kegiatan lain seperti workshop, training, dan ada juga acara tahunan seperti Pesta Inklusif. Jadi, KONEKIN hadir untuk menjembatani pekerja disabilitas dengan perusahaan terkait supaya keduanya bertemu dan siap bekerja sama dalam lingkungan kerja tersebut.


Penting banget untuk orang tua menjawab pertanyaan anak secara kritis, karena menurut penelitian, hal ini bisa meningkatkan intelegensi anak dibandingkan orang tua yang menjawab sekenanya saja. Jadi, kalau mau mengajarkan anak tentang kepedulian, orang tua tentu juga harus memberikan contoh untuk peduli dan paham tentang inklusivitas tersebut.

Pernah menerima komentar negatif karena menjadi working mom, dari publik atau keluarga sendiri?

Mungkin aku tidak mengganggap itu stigma, tapi lebih ke lack of knowledge mereka, terutama tentang keputusan untuk menitipkan anak di daycare. Bagi sebagian orang atau kultur tertentu, menitipkan anak di daycare itu artinya tega sama anak. “Kenapa enggak dibiarkan tinggal di rumah aja?” Padahal di rumah juga dititipkan ke ART atau pengasuh, cuma beda tempat saja.

Menitipkan anak di daycare atau bersama dengan ART itu pasti sudah jadi pilihan dan keputusan yang matang dari orang tua, khususnya yang keduanya sama-sama bekerja. Dan menurut aku pribadi, menitipkan anak di daycare adalah pilihan terbaik, karena secara tidak langsung membuatku ingin lebih cepat pulang ke rumah. Jadi, setelah sampai rumah, itulah momen quality time aku bersama anak.

Apa saja yang jadi pertimbangan menitipkan anak di daycare?

Salah satu pertimbangannya karena anakku itu lahir di masa pandemi. Dan cara untuk membuatnya punya interaksi secara sosial itu dengan menitipkannya di daycare. Di sana, anak juga belajar untuk mandiri dengan mengikuti jadwal yang sudah dibuatkan oleh pengurus daycare itu sendiri. Ada jam untuk membaca, jam tidur, jam makan juga teratur. Jadi, aktivitasnya beragam dan tidak berfokus pada gadget yang memang aku batasi pemakaiannya pada anak. Dan value ini juga yang membuatku memilih menitipkan Malo di daycare selama aku dan papanya bekerja.

Marthella pernah membuat postingan tentang refleksi diri saat memasuki usia ke-32. Kenapa melakukannya? Apakah sepenting itu melakukan refleksi diri?

Menjadi ibu itu buatku adalah belajar sepanjang hayat tapi tidak ada graduation-nya. Karena sampai kita nanti berpulang pun ya, status kita tidak akan lepas dari seorang ibu. Sedangkan di tengah hiruk pikuk media sosial, kita sering membandingkan tentang banyak hal, misalnya tentang kemampuan anak atau tentang ibu bekerja dan ibu rumah tangga. Padahal, tantangan setiap ibu itu berbeda-beda. Dan menurutku, refleksi itu penting dilakukan secara berkala supaya aku tahu setiap progres dan pencapaian.

Dulu anakku itu tidak bisa tummy time di usia 2 bulan karena kultur di keluarga tidak membiasakan bayi untuk belajar tengkurap. Sedangkan dokter dan konten media sosial bilang kalau kondisi ini artinya tumbuh kembang anak terlambat. Aku sempat frustrasi karena hal ini. Tapi, dengan refleksi aku juga jadi belajar bahwa anak masih bisa memiliki tumbuh kembang yang baik selama kita beri stimulasi yang tepat.

Apa hal yang paling berkesan dari tumbuh kembang Malo yang sekarang sudah berusia 22 bulan?

Yang paling berkesan itu kemampuan dia mengingat atau memorizing sesuatu tuh, kuat banget. Misalnya, kita habis jalan-jalan di weekend, dia bisa ingat kalau jalannya di hari Sabtu, ketemu seseorang pakai baju warna apa, bahkan posisi jam di cafe yang kita datangi waktu itu. Lalu, kemampuan bicaranya juga pesat sekali sampai orang-orang di sekitar juga bilang Malo sudah punya bahasa yang bagus. Bahkan, dia sudah mampu bikin satu kalimat lengkap. Malo juga sangat responsif dan gampang mengerti instruksi dengan baik.

Mungkin karena tanpa ART, aku dan papanya berbagi pekerjaan rumah tangga. Kita juga libatkan Malo untuk melakukan pekerjaan rumah yang ringan-ringan. Jadi, secara enggak langsung, dia ikut terlibat mengurus urusan rumah dan tumbuh menjadi anak yang helpful. Contohnya, dia bisa taruh piring ke dapur setelah selesai makan atau membereskan mainan atau buku-bukunya sendiri dan tahu harus menyimpannya di mana.

Daripada Aku stres karena anak kecanduan gadget, aku lebih pilih repot bacain buku buat Malo. Bonding-ku dengan anak juga jadi lebih kuat dan Malo jadi makin cinta sama buku.

Tumbuh kembang Malo yang pesat ini apakah karena ia sudah dibiasakan suka baca buku sejak dini?

Itu sebenarnya hal yang tidak terlalu populer, ya. Pas hamil, Aku tetap sering baca buku sambil mengelus-elus perut. Tapi, aku percaya bayi itu sudah pintar sejak ia di dalam kandungan. Mungkin dia belum mengerti, tapi dia tahu kalau ibunya sedang membacakan buku untuknya. Dan setelah Malo lahir, dia jadi suka banget baca buku sampai sekarang.

Ketika jalan-jalan ke kafe, misalnya, Malo sudah siapin buku untuk dia baca. Jadi, ada bukunya di dalam tas atau di mobil, yang membuat Malo bisa membaca di mana pun. Dari buku juga dia belajar banyak hal, tentang membantu orang tua, mengenal emosi, dan jadi enggak sering tantrum. Karena yang mengenalkan gadget ke anak itu orang tua, tapi kalau anak jadi kecanduan gadget, orang tuanya yang stres. Daripada aku stres karena anak kecanduan gadget, aku lebih pilih repot bacain buku buat Malo. Bonding-ku dengan anak juga jadi lebih kuat dan Malo jadi makin cinta sama buku, bukan kecanduan main gadget.

Bagaimana cara Marthella mengarahkan Malo agar punya kepedulian yang tinggi pada lingkungan sekitar?

Aku lagi mengenalkan Malo tentang diversity (keberagaman) dan inclusion (inklusivitas). Jadi, aku suka ajak dia ke acara-acara KONEKIN dan mengenalkannya dengan banyak orang yang beragam. Sekarang pun dia lagi suka baca buku judulnya You Are Enough, yang karakter utamanya adalah anak Down syndrome. Anak tersebut punya teman yang juga berbeda-beda, ada yang gemuk, berkulit hitam, memakai kaki palsu, dan yang memakai kursi roda dengan berbeda tipe.

Buku-buku ini aku cari sendiri atau bertanya juga ke komunitas ibu-ibu lainnya yang juga suka baca buku. Tapi, buku yang membahas soal inklusivitas di Indonesia sendiri masih sangat sedikit, jadi aku belikan buku-buku berbahasa Inggris yang harganya juga cukup mahal. Karena alasan ini, akhirnya KONEKIN menerbitkan Buku Anak Disabilitas Indonesia seri BISA yang terbit dalam 5 judul.

Selain itu, kasus bullying terhadap anak disabilitas juga makin tinggi, padahal pendidikan yang inklusif sudah harus mulai digalakkan saat ini di Indonesia. Dan menurut Undang-Undang tahun 2016 juga disebutkan kalau sekolah umum tidak boleh menolak anak disabilitas. Meskipun sekolahnya sudah menjalankan peraturan ini, pihak lain seperti guru, siswa, maupun orang tua murid belum siap, sehingga perundungan masih terjadi pada anak-anak disabilitas. Karenanya buku BISA ini hadir dalam bahasa Indonesia, dengan harga yang juga lebih terjangkau sehingga bisa dibaca siapa saja, tidak hanya anak-anak, tapi juga orang tuanya.

Pola asuh apa yang Marthella dan suami terapkan pada Malo?

Aku dan suami berusaha untuk memberikan kepercayaan pada Malo sejak dini. Hal ini pun terbukti di usianya yang hampir 2 tahun, dia jadi anak yang percaya diri dan berani. Kalau aku sedang bekerja bareng dia, Malo juga tidak clingy dan bisa baca buku sendiri kalau dia mau. Hal tentang pola asuh ini sudah aku bahas dengan pasangan sejak pacaran karena ini penting untuk disepakati di awal. Jadi, setelah menikah dan Malo lahir, setiap keputusan bisa diselaraskan bersama juga.

3 hal yang menggambarkan sosok Marthella?

Passionate, punya keinginan besar untuk mengenal suatu isu sampai mendalam. Dynamic, kalau satu cara yang dipakai tidak berhasil, aku bisa beradaptasi untuk mencoba cara lain. Caring, mungkin karena terbiasa ada di lingkungan sosial, sehingga penting buatku untuk peduli dan memberi kenyamanan untuk orang lain.

Apa tips untuk working moms agar tetap bisa berkarya sekaligus dekat dengan anak?

15 minute each day, itu penting menurutku. Sesibuk apa pun, berikan waktu minimal 15 menit untuk anak, tanpa gadget atau gangguan lain. Intinya, 15 menit berkualitas yang bisa dipakai untuk baca buku, main bareng, ngobrol, pillow talk. Apa pun kegiatannya yang dilakukan minimal 15 menit itu membuat anak tahu bahwa dia berharga, terutama bagi orang tuanya.

Keberagaman tidak membuat dia lebih superior dibanding yang lain. Aku tidak mengajarkan Malo untuk bersyukur karena banyak orang tidak seberuntung dia, tapi bersyukurlah karena kita hidup di masyarakat yang berbeda-beda, tapi tetap bisa berinteraksi satu sama lain.

Adakah pesan semangat untuk Moms dalam menjalani perannya sebagai ibu?

Seorang ibu itu berharga, baik dia seorang ibu rumah tangga maupun ibu bekerja. Tidak perlu membandingkan satu sama lain dan tidak perlu merasa bersalah dengan keputusan yang sudah diambil. Ibu juga harus punya me time untuk mengembalikan energi dengan merawat diri dan melakukan hal yang kita sukai. Kalau dikomunikasikan ke pasangan, pasti dimengerti. Kan urus anaknya berdua, jadi Anda dan pasangan punya peran untuk menjalani peran sebagai orang tua dan tetap menjadi diri sendiri.

(M&B/Vonia Lucky/SW/Foto: Hadi Cahyono/Digital Imaging: Erlangga Namaskoro/Stylist: Gabriela Agmassini/Makeup Artist: Atika Sakura @tsakeru/Hair Stylist: Rachela Yu @rachela_yu/Wardrobe: Klamby @wearingklamby, Tutubi @tutubi_studio/Lokasi: The Dharmawangsa @thedharmawangsa)