Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Week Spesial Hari Ibu 2023: Vitorini

Mom of the Week Spesial Hari Ibu 2023: Vitorini

Mengapa hanya ada sedikit perempuan arsitek yang benar-benar berkarier sebagai arsitek? Berawal dari rasa penasaran itu, Dwi Santi Vitorini (42) dan beberapa teman wanitanya memutuskan untuk mendirikan biro arsitek bernama GAEA Architect. Meski pada akhirnya mampu menasbihkan diri mereka sebagai salah satu biro arsitek papan atas, Vitorini mengakui bahwa the struggle is real!

Bukan hanya soal bersaing dengan para arsitek pria atau diskriminasi soal fasilitas, perempuan yang berprofesi sebagai arsitek juga harus menghadapi masalah yang lebih kompleks. Mereka harus lebih lihai dalam memilah prioritas sebagai ibu dan wanita karier.

Namun, Vitorini mampu membuktikan bahwa seorang wanita bisa menjalankan berbagai peran. Asalkan sudah terbiasa, perempuan arsitek juga mampu berkarya dengan tetap menjalankan kodratnya sebagai seorang ibu.

Mau tahu bagaimana perjuangan Vitorini dalam membangun karier dan mengurus keluarganya? Simak wawancara M&B dengan Vitorini, ibu dari Musa Karana Mohamad (11), dan triplets Aisha Kinandari Mohamad (4), Daud Kalya Mohamad (4), serta Salma Giyanti Mohamad (4), yang menjadi Mom of the Week Spesial Hari Ibu 2023 berikut ini

Boleh diceritakan, apa saja aktivitas Vitorini saat ini?

Saya seorang arsitek dan saat ini memiliki biro sendiri. Selain menjadi arsitek, saya juga memiliki warung kopi. Namanya Masagi Coffee yang masih berlokasi di Bandung juga.

Kalau biro arsitek, sebagian besar proyek di Jakarta. Jadi, setiap pekan, ada sesi bolak-balik ke Jakarta dan Bandung. Kadang menginap, kadang pulang pergi saja. Kesibukan saya lainnya, adalah mengurus anak-anak.

Vitorini dikenal sebagai pemilik GAEA Architect. Benarkah, biro arsitek ini terdiri anggota tim wanita saja? 

Iya benar, perempuan semua.

Vitorini
Sesungguhnya, saya ingin membuat semacam MLM (multi level marketing). Saya mendirikan kantor yang isinya perempuan semua. Nantinya, saat mereka keluar akan bisa mendirikan kantor-kantor baru yang isinya perempuan juga. Jadi, kita bisa memperluas lapangan pekerjaan bagi perempuan.

Bagaimana proses mendirikan GAEA Architect?

Saya mendirikan biro arsitek tersebut pada 2004. Awalnya tuh saat saya menempuh pendidikan S2 dan lagi mengobrol santai bersama teman-teman perempuan, tebersit di kepala, “Eh kita sebutin, perempuan arsitek di Indonesia siapa saja, ya?”. Terus saat disebutkan, kok kayaknya sedikit sekali. Lalu berpikir, kenapa harus sekolah S2 kalau nantinya tidak menjadi arsitek? Kenapa sih, seperti ini?

Saya pun memutuskan untuk membuat tesis tentang kondisi ini. Jadi tesis saya mengenai perempuan arsitek. Saya ingin tahu kenapa perempuan arsitek lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Kemudian saya membuat survei dan lain-lain. Dan pada akhirnya, saya memutuskan untuk membuka lapangan kerja. Saya mendirikan biro arsitek tapi khusus perempuan.

Sesungguhnya, saya ingin membuat semacam MLM (multi level marketing). Saya mendirikan kantor yang isinya perempuan semua. Nantinya, saat mereka keluar akan bisa mendirikan kantor-kantor baru yang isinya perempuan juga. Jadi, kita bisa memperluas lapangan pekerjaan bagi perempuan.

Saya merasa, dulu laki-laki lebih mudah untuk bekerja. Perusahaan-perusahaan lebih melirik laki-laki untuk pekerjaan arsitek. Jadi, saya dan teman-teman pun berpikir, “Ya sudah yuk, kita buat kantor arsitek perempuan." Dulu sih, banyak anggotanya. Saya ingat pada 2007, kami punya 10 orang karyawan. Itu hitungannya sudah banyak untuk studio saya. Dan sekarang tinggal berlima.

Pada awal perjalanannya mungkin terasa agak susah. Tapi, lama-kelamaan sama saja. Hingga saya sampai pada satu kesimpulan, ternyata orang bisa karena terbiasa, bukan karena ia perempuan atau laki-laki. Hal ini berlaku di pekerjaan apa pun.

Sebenarnya, kenapa dahulu profesi arsitek didominasi pria?

Menjadi arsitek merupakan pekerjaan lapangan. Kita akan berhubungan dengan para tukang di lapangan. Panas-panasan sudah pasti, kotor-kotoran sudah jelas. Hanya menurut saya, untuk bisa melakukan semua itu karena biasa saja. Bukan karena saya perempuan atau saya laki-laki.

Setelah dibuktikan, ternyata staf saya di kantor yang notabene perempuan kalau dibandingkan arsitek laki-laki dari biro lain, ya sama saja. Kondisi ini karena mereka telah terbiasa untuk mendapatkan kesempatan yang sama.

Hanya memang, saya membuat sistem kantor yang lebih nyaman untuk perempuan. Misalnya, dulu ada partner saya selalu merasakan nyeri luar biasa setiap kali menstruasi. Jadi dia kan tidak mungkin kerja. Makanya dibuatkan cuti haid setiap bulan sehingga karyawan tidak perlu membolos.

Lalu ada cuti melahirkan. Kala itu, ada partner kami yang melahirkan. Dan ternyata cuti 3 bulan tidak cukup, jadi dia meminta keringanan untuk bekerja di rumah. Ternyata sistem ini bisa juga dijalankan. Setelah partner tersebut sudah siap bekerja, anaknya juga bisa dibawa. Kami menyediakan ruangan khusus buat bayi dan menyusui, begitu pula lemari pendingin untuk menyimpan ASI.

Jadi, di biro ini kami cenderung saling memaklumi sesama perempuan. Bukan berarti diberi fasilitas istimewa, karena semua staf merasakan hal yang sama.

Jadi mendirikan biro arsitek perempuan bukan sekadar pembuktian?

Semasa masih sekolah sih, memang resek saja ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa mendirikan biro arsitek. Kalau dulu memang niatnya untuk pembuktian. Dan ternyata memang sama saja. Tetap ada proyek untuk biro kami. Hasilnya pun sama saja dengan biro arsitek pria. Pokoknya sesuai dengan permintaan klien.

Namun, memang sempat muncul omongan orang-orang, "Ngapain membuat biro seperti itu?". Sempat mendapat omongan nyinyir juga. Namun ternyata terbukti, wanita bisa melakukannya.

Hanya saja, perempuan tuh ada masa pause-nya. Seperti saat saya hamil dan melahirkan, sehingga partner saya yang mengambil alih peran di kantor.

Makanya saya selalu bilang, perempuan bekerja yang paling utama membantu adalah support system, mulai dari suami, lalu ada ibu saya kalau saya harus ke luar kota. Faktanya memang tidak bisa meninggalkan anak kecil hanya dengan pengasuhnya saja. Dan memang saya tidak tega juga. Pokoknya bagi saya, support system tuh nomor satu!

Support system paling penting adalah suami. Bukan hanya soal pekerjaan, saya juga bisa melakukan hal-hal seperti me time. Hanya saja, tetap istilahnya ada “visa” dari suami.

Apa saja tantangan yang dihadapi saat mendirikan GAEA Architect?

Kalau untuk perempuan, tantangan pertama adalah bekerja malam. Itu sih yang paling saya khawatirkan. Lima tahun pertama GAEA Architect merupakan periode terberat. Saya pun khawatir jika teman-teman nih harus pulang jam 2 atau 3 pagi. Mungkin saya akan lebih tenang jika staf laki-laki yang harus pulang malam.

Nah, solusinya, mereka menginap di kantor. Untuk itu, saya harus menyiapkan fasilitasnya. Sofa, minimal sofa bed. Hanya saja, makin lama akhirnya kita harus mencari solusi lain, yaitu tidak boleh lembur.

Jadi, kami menjaga efektivitas kerja saja. Kalau memang jam 5 sudah waktunya pulang, ya sudah pulang saja. Alhamdulillah, selama lima tahun terakhir sudah tidak ada yang lembur lagi, kita sudah tahu formulanya. Belum lagi, anak-anak kami sudah mulai besar. Jadi sesekali ada yang izin karena anaknya pentas dan alasan lainnya. Tapi, tidak masalah selama pekerjaannya selesai.

Satu lagi, Alhamdulillah klien-klien saat ini sudah pada mengerti. Seperti misalnya, saya tinggal di Bandung dan klien memilih saya untuk mengerjakan proyek di Jakarta. Mereka sudah mengerti apabila saya hanya ke Jakarta pada Rabu dan Kamis. Jadi selama Rabu dan Kamis, saya berusaha bekerja efektif, full meeting dari Rabu pagi hingga Kamis sore. Lalu setelah itu, saya kembali ke Bandung.

Klien juga sudah mengerti dan tidak tiba-tiba mengajak bertemu pada hari Sabtu. Mereka akan bertanya terlebih dulu, kapan bisa bertemu di lapangan? Jadi saya juga bisa lebih mengatur waktu.

Bagaimana sikap suami saat Anda memutuskan untuk bekerja dan mendirikan GAEA Architect?

Dia mengikuti saja karena memang kami sudah berpacaran cukup lama. Itu dia yang saya bilang, support system paling penting adalah suami. Bukan hanya soal pekerjaan, saya juga bisa melakukan hal-hal seperti me time. Hanya saja, tetap istilahnya ada “visa” dari suami. Suami saya tahu betul bahwa dulu saya tuh, feminis banget. Sampai dia menyebut dirinya sebagai bapak-bapak yang feminis.

Saya ingin, saya ada pada saat anak-anak merasa membutuhkan. Saya tidak ingin melewatkan milestone penting bagi anak, misalnya hari pertama triplets sekolah. Saya akan berusaha mengantarkan mereka. Sedangkan kalau si kakak, saya selalu berusaha menyiapkan bekal sekolah untuknya.

Benar atau tidak kalau arsitek wanita kerap dipandang sebelah mata?

Setelah apa yang saya alami, sebenarnya seharusnya sama saja. Hanya memang perempuan lebih banyak yang harus diurus, apalagi ketika sudah menikah dan punya anak.

Kalau laki-laki tidak membawa pekerjaan rumahnya ke kantor, berbeda dengan perempuan yang membawa pekerjaan rumah ke kantor. Otomatis pekerjaan di kantor juga tidak bisa 100 persen, pasti akan ada pause-nya. Misalkan, lagi seru-serunya meeting atau brainstorming project, tiba-tiba ada telepon dari sekolah yang mengabarkan anaknya muntah-muntah. Nah, kan tidak mungkin bapaknya yang menjemput, pasti ibunya.

Hal-hal seperti ini yang kerap terjadi, bukan hanya pada saya, tapi staf kantor yang perempuan. Pokoknya untuk perempuan, tetap prioritasnya adalah keluarga. Sesibuk apa pun saya, prioritas saya tetap keluarga.

Dalam segi apa arsitek wanita dipandang sebelah mata?

Dulu saat mengerjakan tesis, saya mewawancarai perempuan-perempuan arsitek di Jakarta yang bekerja di biro arsitek terkemuka. Ada perempuan yang bekerja, misalnya 20 tahun di biro tersebut, tapi tidak pernah mendapatkan job desc sebagai kepala studio. Dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mendesain dari nol hingga terbangun.

Paling dia hanya mendesain, detailing seperti pintu, jendela, atau handle-nya. Lebih ke sesuatu yang detail saja. Dan dia tak pernah diberi tugas untuk membuat konsep dari A hingga Z. Namun, itu dulu. Sekarang sudah berbeda. Saat ini, tidak lagi dilihat arsitek perempuan atau laki-laki lagi.

Biasanya yang menganggap sebelah mata itu klien atau justru kolega atau sesama arsitek?

Ada dari klien, ada pula yang dari kolega. Tapi, begini, dulu kalau kita ke proyek, helm yang disediakan berukuran besar. Sepatu proyek juga berukuran besar. Jadi, hanya masalah fasilitas saja sih. Dulu ruangan menyusui atau ruangan untuk ibu juga tidak ada. Tapi sekarang awareness orang terhadap kebutuhan pekerja perempuan sudah mulai tinggi. Dulu juga suka kesal kalau ada cat calling saat mengunjungi proyek. Kalau sekarang sih, sudah cuek saja.

Bagaimana cara menghadapinya?

Saya tuh dulu dipanggil oleh dosen-dosen ITB dengan sebutan “ibu gender”. Ya, karena saya mungkin seperti sosok feminis yang sering “berteriak-teriak” begitu. Dulu tuh pernah saat bekerja di proyek, mereka hanya menyediakan urinoir, tidak ada closet. Jadi, kita yang perempuan bingung, bagaimana mau buang air kecil? Sempat marah-marah juga sih, walau tidak lama disediakan juga oleh pihak kontraktor. Ya, mungkin saja kondisi ini terjadi karena mereka tidak mengira ada arsitek perempuan yang datang.

Nah, kalau sekarang ada komunitas ibu arsitek, perempuan-perempuan, tidak harus yang sudah menikah. Kita sering berkumpul dan sharing berbagai masalah seperti ini. Komunitas ini dibentuk oleh perempuan arsitek di Jakarta dan pengalamannya seru-seru banget.

Desember ini, komunitas ibu arsitek akan ada selebrasi tahun ke-5. Kita akan membuat pameran, dialog, dan lain sebagainya. Dengan komunitas ini kita ingin menunjukkan bahwa perempuan arsitek sudah semakin eksis.

Setelah memiliki anak, saya merasa kehidupan dalam sehari tuh seperti roller coaster. Jadi menurut saya, pencapaian terbesar saya adalah kemampuan untuk bertahan hingga saat ini.

Menurut Vitorini, apakah emansipasi wanita di Indonesia sudah tercapai?

Kalau yang terdampak ke saya secara pribadi sih, emansipasi wanita bekerja di Indonesia sudah merata. Saya sudah tidak merasa adanya perbedaan yang signifikan antara pekerja laki-laki dan perempuan seperti dulu.

Saat ini, klien yang bertemu dengan saya, ya sudah ok-ok saja. Karena mereka juga hanya melihat hasil karya, bukan karena saya laki-laki atau perempuan. Setidaknya itulah yang terjadi di bidang saya.

Apa saja sih tantangan seorang ibu yang bekerja?

Ya, biasanya kalau kita lagi kerja jauh lalu ada kondisi urgent, seperti anak sakit, terkadang muncul rasa bersalah. Makanya kalau ada sesuatu yang penting, saya mengusahakan untuk tidak bepergian jauh. Misalnya, saat anak yang paling besar sedang ujian, maka saya tidak akan keluar kota. Anak-anak tetap menjadi prioritas.

Saya ingin, saya ada pada saat anak-anak merasa membutuhkan. Saya tidak ingin melewatkan milestone penting bagi anak, misalnya hari pertama triplets sekolah. Saya akan berusaha mengantarkan mereka. Sedangkan kalau si kakak, saya selalu berusaha menyiapkan bekal sekolah untuknya. Walau saya mau bekerja ke Jakarta, tetap saya menyempatkan diri untuk menyiapkan bekalnya. Berbeda dengan adik-adiknya, penting bagi si kakak untuk membawa bekal yang disiapkan oleh ibunya dan selalu dihabiskan.

Jadi, tantangan terbesar bagi ibu bekerja adalah mengatur prioritas. Ya, terkadang memang muncul rasa bersalah. Tapi, saya selalu berusaha membayarnya di waktu yang lain.

Bagaimana Anda membagi waktu antara bekerja dan mengurus keluarga?

Sejak anak-anak kecil, saya selalu meminta izin setiap kali berangkat kerja. Jadi, mereka tahu kalau ibunya tuh bekerja, ibunya seorang arsitek yang harus ke proyek. Mereka sudah tahu, jadi tak pernah rewel sehingga membagi waktu tidak terlalu sulit.

Lalu bagaimana membagi perhatian kepada empat orang anak?

Nah, kalau ini yang kasihan memang triplets. Untuk membagi perhatian ke ketiga anak kembar ini, saya sendiri tidak punya jawaban apakah sudah cukup atau belum. Jadi saya berusaha maksimal saja agar mereka bisa merasakan rasa sayang yang sama dan optimal.

Kayak yang cowok nih di antara triplets, namanya Daud, dia suka ngomong kalau saya sedang menggambar bersama dua perempuan lainnya, “Ibu, ibu, gambarin juga.” Saya jawab, “Sebentar ya, ibu belum selesai.” Nah, mulai tuh dia bilang, “Ibu nggak sayang sama aku!”. Hal-hal seperti ini yang terkadang membuat kita emosional juga.

Saya juga sempat punya rutinitas, tidur bergantian. Jadi, misalnya hari ini saya tidur bersama Aisha, besok dengan Daud, besoknya lagi dengan Salma. Begitu saja bergantian. Tapi kadang-kadang ada salah satu dari mereka yang lagi ingin tidur sama saya, misalnya lagi tidak enak badan, nanti mereka akan berdiskusi sendiri. Saya bilang, “Ini Aisha lagi demam jadi tidur sama ibu ya.” Walau ada protes, mereka bisa bernegosiasi sendiri.

Anak paling besar, Musa, juga punya me time sendiri dengan ibunya. Kita selalu mengobrol setiap makan malam. Saya selalu menanyakan kabarnya di hari itu, dan kebetulan Musa adalah tipe anak yang ekspresif. Jadi, dia akan menceritakan apa saja yang terjadi selama dia bersekolah. Dia senang atau tidak senang, semuanya diceritakan.

Menurut Anda pribadi, apa achievement tertinggi  Anda sebagai ibu dan juga wanita yang berkarier hingga saat ini?

Pencapaian tertinggi saya? Hmm, sebenarnya saya tidak pernah membayangkan memiliki banyak anak. Sebelum punya anak, kehidupan saya tidak seperti ini. Setelah punya anak, pokoknya berbeda banget. Tapi saya tidak pernah mengalami post-partum depression, termasuk saat melahirkan kembar tiga. Bagi saya, memiliki tiga orang anak kembar artinya tidak memiliki waktu untuk marah, untuk uring-uringan.

Setelah punya anak, saya merasa kehidupan dalam sehari tuh seperti roller coaster. Jadi menurut saya, pencapaian terbesar saya adalah kemampuan untuk bertahan hingga saat ini.

Sejak memiliki triplets, saya tidak pernah memiliki rencana jangka panjang. Yang penting, hari ini terlewati dulu dengan baik dan semoga besok juga begitu. Hal yang sama juga berlaku untuk pekerjaan. Pokoknya saya menyelesaikan pekerjaan hari ini dengan baik.

Apakah masih ada keinginan-keinginan yang ingin dicapai?

Kalau untuk urusan pekerjaan, saya masih ingin membuat semacam GAEA Home. Jadi, semacam workshop sendiri tapi buat interior. Sekarang kami mengerjakan arsitektur dan interior, tapi interiornya masih dari luar. Nah kami ingin membuat sendiri interior desain kami, seperti kursi buatan kami. Sejauh ini, rencana kami seperti ini. Jadi ada karya-karya kami yang bisa dibeli langsung.

(M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Gustama Pandu/Digital Imaging: Raghamanyu Herlambang/Stylist: Gabriela Agmassini/Makeup Artist: Atika Sakura (@tsakeru)/Hair Stylist: Nia (@nia_hairnbeauty)/Wardrobe: Klamby (@wearingklamby)/location: JW Marriott Jakarta (@jwmarriottjkt))