Type Keyword(s) to Search
KID

Stop Bullying! Lakukan Cara Ini agar Anak Tidak Jadi Pelaku Bullying

Stop Bullying! Lakukan Cara Ini agar Anak Tidak Jadi Pelaku Bullying

Kasus perundungan alias bullying di kalangan anak-anak masih saja terjadi. Miris ya, Moms! Padahal sesungguhnya fenomena bully bisa dicegah.

Perilaku bully memang bukan perkara mudah untuk diatasi. Faktor keluarga, lingkungan, tekanan dari teman atau kelompok, serta status di media sosial adalah alasan tindakan merundung orang lain marak terjadi.

Perundungan tidak selalu dalam bentuk pemukulan atau intimidasi secara langsung. Seseorang juga bisa dikategorikan melakukan bullying dengan cara melakukan pelecehan atau intimidasi di media sosial.

Untuk mencegah perilaku bullying tentunya diperlukan campur tangan banyak pihak. Bukan hanya sekolah, Moms dan Dads selaku orang tua juga bisa ikut melakukan tindakan preventif agar anak tidak tumbuh besar menjadi sosok pelaku bullying. Lantas bagaimana caranya?

1. Beri cukup perhatian

Ya, inilah hal paling mendasar untuk mengurangi risiko anak tumbuh menjadi sosok pem-bully. Namun, tidak sekadar memperhatikan keseharian anak, Moms dan Dads juga perlu menunjukkan bahwa Anda benar-benar peduli dan menaruh minat terhadap kehidupannya. Dengan begitu, anak akan sungguh-sungguh merasa disayang dan diperhatikan. Ia akan merasa memiliki tempat untuk berlindung dan tak perlu membuktikan diri atau mencari perhatian di tempat lain.

2. Bangun komunikasi yang baik

Seperti dilansir oleh situs StopBullying.gov, anak-anak sesungguhnya masih sangat membutuhkan arahan atau nasihat dari kedua orang tuanya dalam mengambil keputusan. Hanya saja, komunikasi yang buruk kerap menjadi alasan anak enggan untuk curhat kepada orang tuanya sehingga mereka jadi salah melangkah.

Oleh sebab itu, penting bagi Anda untuk membangun komunikasi yang baik dengan anak. Mulailah dengan cara yang sederhana, seperti bertanya “Bagaimana sekolahmu hari ini?” atau “Kamu lebih suka kita berlibur ke gunung atau ke pantai?”.

Biarkan anak mengeluarkan pendapat tanpa harus selalu merasa dihakimi. Dengan begitu, ia akan lebih memilih untuk curhat kepada orang tuanya saat menghadapi masalah.

3. Ajarkan anak untuk memiliki empati dan simpati

Maraknya kasus bullying juga dipicu oleh kurangnya rasa empati dan simpati anak terhadap orang lain. Saat melihat ada anak lain yang memiliki kekurangan, alih-alih memberikan dukungan, mereka malah mengejek dan merundungnya.

Selain itu, Moms juga perlu memastikan anak memiliki sikap saling menghormati, menghargai, dan bisa bersikap ramah terhadap orang lain yang berbeda dari segi jenis kelamin, agama, status ekonomi, serta mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Mengajarkan hal ini kepada anak bisa dengan cara memberi contoh. Bagaimana Moms dan Dads bersikap terhadap orang lain, tetangga, atau bahkan pekerja rumah tangga di rumah akan dilihat oleh anak. Jika Anda memberikan contoh yang baik, maka anak pun akan mengikuti.

4. Tumbuhkan karakter kuat

Menumbuhkan karakter kuat dalam diri anak juga tak kalah penting. Anak perlu memiliki ego. Ego adalah identitas diri. Tanpa ego, anak tidak akan bisa membedakan antara dirinya dengan orang lain.

Pada umumnya, anak mencapai puncak egosentris pada usia 7 tahun. Di periode ini, mungkin terkesan anak tidak memiliki akhlak karena tak ingin berbagi atau sulit untuk mengalah. Namun, egosentris ini adalah hal yang wajar dan harus terpuaskan agar tidak menimbulkan luka ego sehingga menjadi kurang percaya diri.

Jadi, di masa egosentrisnya, jangan selalu memaksa anak untuk berbagi atau mengalah saat emosinya memuncak. Namun, ketika mulai mereda, Moms bisa mengajarkan betapa indahnya berbagi dan berbuat baik.

Anak yang memiliki ego dan karakter kuat tidak akan mudah terbawa arus pergaulan. Ia bisa berjuang atau berdiri sendiri untuk mempertahankan prinsip yang dianggapnya benar.

5. Kenali teman-temannya

Tidak ada salahnya jika  Moms dan Dads mencari tahu dengan siapa anak Anda bergaul. Jika memang dirasa teman-temannya memberikan pengaruh negatif, maka Anda bisa membicarakannya secara khusus.

Hanya saja perlu diingat, anak cenderung tidak suka diinterogasi atau dilarang secara langsung. Anda perlu mencari cara yang baik dalam berkomunikasi sehingga anak bisa menerima omongan dengan baik.

6. Refleksi diri

Perlu diketahui, pemicu anak melakukan perundungan bisa juga berasal dari kondisi rumah yang tidak baik. “Penting bagi orang tua melihat ke dalam diri, ke dalam keluarga, apakah memang perilaku yang anak tampilkan adalah dampak dari sesuatu yang terjadi di dalam keluarga?” ungkap Katarina Ira Puspita M.Psi., Psikolog (Psikolog Anak & Keluarga Klinik Pela 9) dalam Podcast Ruang Siar Juara Mother and Beyond.

“Misalnya, apakah saya berbicara terlalu kasar? Apakah saya sering berantem dengan pasangan? Atau mungkin dia sering diganggu oleh adik atau kakaknya? Jadi apakah ada sesuatu yang terjadi di rumah sehingga anak memiliki kemarahan yang mungkin itu dilampiaskan ke luar? Atau sebenarnya dari situ, anak mencontoh, belajar bahwa, ‘Oh di rumahku, polanya seperti ini. Jadi tidak apa-apa kalau aku dan temanku juga seperti itu’,” lanjut Katarina. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Freepik)