Seorang jurnalis tidak hanya menyiarkan berita yang sebenarnya. Bagi Sumi Yang (40), seorang jurnalis harus memiliki empati, simpati, dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan saat bertugas.
Sesungguhnya, menjadi jurnalis tidak ada dalam daftar cita-cita yang ingin diraih Sumi. Meski segalanya terjadi secara kebetulan, toh ia ternyata jatuh cinta terhadap dunia jurnalistik. Bahkan ia bertemu sang belahan jiwa, Timothy Marbun (41), karena berkecimpung di dunia yang sama, dunia jurnalistik.
Selama lebih dari 20 tahun, Sumi melakoni profesi sebagai presenter program berbahasa Mandarin. Sepanjang kariernya, wanita asal Riau ini belajar betapa penting bagi seorang jurnalis memiliki jiwa resiliensi. Dan belajar dari pengalamannya, Sumi pun ingin mengajarkan kepada kedua buah hatinya, Russell Jonathan Marbun (8) dan Chester Philip Marbun (5) untuk bersikap tangguh, tapi juga punya empati yang tinggi terhadap sesama.
Lantas apa lagi harapan-harapan Sumi Yang terhadap Russell dan Chester? Dan apa saja kesibukannya saat ini? Simak wawancara M&B bersama Sumi Yang sebagai Mom of the Month Maret 2024 berikut ini, Moms.
Saya tidak pernah terbayang menjadi jurnalis bisa bertahan sampai 20 tahun. Itu semua karena ternyata saya suka dengan dunia jurnalistik yang sangat dinamis dan penuh tantangan.
Apa saja kesibukan Sumi Yang saat ini?
Saya masih tetap berkecimpung di dunia media. Bedanya, sekarang saya lebih ke media online. Saya sedang fokus mengembangkan channel YouTube bernama Nalar TV, di mana kontennya fokus pada dunia politik dan sepak bola Indonesia. Selain itu, saya masih mengurus cafe yang sudah berjalan lebih dari 13 tahun. Dan pastinya, saya juga sibuk dengan 2 bocah di rumah yang usianya masih kecil, baru menginjak usia 5 dan 8 tahun.
Sudah berapa lama terjun ke dunia jurnalistik? Boleh diceritakan prosesnya?
Sudah lebih dari 20 tahun saya berkarier di media televisi, Metro TV. Awalnya bisa dibilang kebetulan. Ya, karena kebetulan saya bisa berbahasa Mandarin dan kebetulan juga waktu itu Metro TV sedang mencari talent yang menguasai bahasa Mandarin. Di situlah kesempatannya terbuka. Saya yang tidak pernah terbayang atau punya cita-cita menjadi jurnalis ternyata bertahan sampai 20 tahun. Itu semua karena ternyata saya suka dengan dunia jurnalistik yang sangat dinamis dan penuh tantangan.
Sudah pernah meliput ke mana saja?
Kalau di Indonesia, ada beberapa peristiwa besar yang pernah saya liput, seperti tsunami di Aceh pada 2004, setahun kemudian bersama rombongan Jackie Chan yang datang mengunjungi Aceh dan memberikan bantuan, lantas meliput gempa dan tsunami di Pangandaran pada 2006, kecelakaan pesawat Garuda di Medan pada 2005 yang menewaskan 100 lebih penumpang, pengeboman di hotel JW Marriot Jakarta pada 2003, dan masih banyak lagi. Untuk tugas ke luar negeri sejauh ini selalu ditugaskan ke Tiongkok, karena kemampuan berbahasa Mandarin tadi.
Apa liputan yang meninggalkan kesan terdalam?
Liputan bencana tsunami di Aceh yang paling membuka mata. Kala itu, saya baru 2 tahun bekerja di media. Usia saya juga masih muda dan dihadapkan dengan peristiwa kemanusiaan yang menyita perhatian dunia.
Waktu itu, Metro TV menayangkan nonstop 24 jam setiap hari selama satu bulan penuh bahkan lebih. Di sinilah saya sadar bahwa pekerjaan sebagai wartawan ternyata bisa punya dampak yang besar bagi banyak orang. Korban tsunami yang terpisah dari keluarga bisa ditemukan kembali karena kerja wartawan, dunia bisa tergerak mengulurkan tangan karena kerja wartawan. Di situlah saya termovitasi untuk terus bekerja di dunia media.
Mengajarkan anak untuk selalu siap dalam kondisi apa pun buat saya menjadi tantangan terbesar dalam membesarkan anak.
Kalau tidak menjadi presenter, kira-kira seorang Anda akan berprofesi sebagai apa?
Hmmm, mungkin akan terjun ke dunia fashion. Sejak duduk di bangku SD, saya sudah senang menggambar baju dan senang mix and match baju di lemari. Sejak kecil, saya punya kesadaran bahwa penampilan itu penting. Saya percaya bahwa penampilan adalah cerminan kepribadian, jadi harus berkesan.
Anda juga ibu dari dua orang anak laki-laki. Sejauh ini, apa tantangan terbesar sebagai seorang ibu?
Tantangan terbesar buat saya adalah bagaimana mendidik dan membentuk karakter anak menjadi pribadi yang tangguh. Anak-anak generasi sekarang terpapar dengan segala macam gadget dan teknologi di usia yang sangat muda, dan teknologi mempermudah banyak hal. Kemajuan zaman membuat banyak hal bisa didapatkan dengan mudah.
Selalu ada kekhawatiran bahwa apakah anak saya ketika beranjak dewasa dan masuk dalam society bisa bertahan ketika berhadapan dengan kesulitan? Jadi mengajarkan anak untuk selalu siap dalam kondisi apa pun, itu buat saya menjadi tantangan terbesar dalam membesarkan anak.
Pernah mengalami masalah-masalah klasik, seperti GTM, picky eater, atau anak tidak mau mendengarkan kata-kata orang tua? Bagaimana mengatasinya?
Rasanya hampir semua orang tua pernah mengalami masalah yang sama. Saya mengalaminya waktu anak pertama. Dia sempat susah makan di usia 3-5 tahun. Awalnya sangat stres sampai memengaruhi kestabilan emosi. Tapi di situ saya belajar bahwa ternyata stres justru kontraproduktif dan membuat anak trauma, sehingga semakin sulit untuk makan.
Perlahan, saya belajar untuk menerima bahwa setiap anak ada masanya. Dari situlah pembawaan saya jadi lebih tenang dan sabar sambil tetap berusaha untuk mencari solusinya. Akhirnya di usia 6 tahun, ketika pandemi muncul, mungkin karena saya lebih banyak bekerja dari rumah dan lebih banyak waktu buat anak, dengan sendirinya GTM itu hilang. Begitu anak kedua lahir, cara saya mengasuh anak jauh lebih tenang dan rileks. Dan ternyata itu kuncinya, tenang dan sabar. Anak kedua saya tidak pernah punya masalah makan sampai sekarang.
Pernah merasa burnout karena kesibukan sebagai ibu dan wanita karier?
Sangat sering, apalagi bekerja di dunia media yang running 24 jam. Kita juga harus standby kapan pun dibutuhkan, dan sering kali berada dalam kondisi anak membutuhkan kita sementara kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan atau sebaliknya.
Saya sangat berharap anak-anak saya bisa bertumbuh menjadi pribadi tangguh, pekerja keras, dan punya empati yang tinggi. Tantangan dunia ke depan akan semakin berat dan kompleks. Saya ingin anak-anak saya menjadi orang yang bisa membawa dampak dan kebaikan bagi society.
Anda gemar membaca. Apakah menularkan kebiasaan ini kepada anak-anak? Bagaimana menumbuhkan minat baca kepada Russell dan Chester?
Saya dan suami membiasakan anak-anak membaca sebelum tidur dan berusaha mengarahkan mereka ke toko buku saat sedang berjalan-jalan ke mal atau ketika sedang di bandara menunggu pesawat. Kebetulan, kedua anak saya punya rasa penasaran yang tinggi. Jadi, kalau mereka tertarik dengan sesuatu hal, pasti akan dicari tahu sedetail-detailnya. Ya, buku menjadi salah satu sarana mereka.
Di era digital seperti saat ini, rasanya sulit untuk memisahkan anak-anak dari gadget. Bagaimana kebijakan penggunaan gadget buat Russell dan Chester?
Jujur, sangat sulit menerapkan screen time ke anak-anak, apalagi ketika saya dan suami sama-sama punya kesibukan di luar rumah. Biasanya kami memberikan gadget saat weekend. Selebihnya kami usahakan mengajak mereka untuk melakukan aktivitas yang tidak melibatkan gadget, seperti menonton film kartun, main Lego, berenang, atau jalan-jalan ke taman. Intinya anak-anak tidak bisa dilarang, tapi bisa dialihkan dan diarahkan. Ketika mereka sudah terlalu lama bermain gadget, kami akan alihkan dengan kegiatan lain yang tidak melibatkan gadget.
Harapan buat Russell dan Chester?
Saya sangat berharap anak-anak saya bisa bertumbuh menjadi pribadi tangguh, pekerja keras, dan punya empati yang tinggi. Tantangan dunia ke depan akan semakin berat dan kompleks. Saya ingin anak-anak saya menjadi orang yang bisa membawa dampak dan kebaikan bagi society.
(M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Gustama Pandu/Digital Imaging: Raghamanyu Herlambang/Stylist: Gabriela Agmassini/MUA: Arimbi (@arimbi_mua)/Hairdo: Bella (@bellapratita)/Wardrobe Sumi Yang: Josephine Anni (@josephineanni)/Location: Hotel Pullman Jakarta, Central Park (@pullmanjakartacp))