Demi menumbuhkan kedisiplinan dalam diri anak, orang tua biasanya menerapkan reward dan punishment. Padahal, sebenarnya kedua cara ini sudah usang dan perlu dicari alternatifnya.
Dengan adanya punishment (hukuman), anak diharapkan mampu memahami bahwa apa yang dilakukannya salah dan tidak akan mengulanginya. Sebaliknya, Si Kecil diberikan reward (hadiah, penghargaan) atas hal baik atau capaiannya, sehingga diharapkan ia bisa mengulangi hal baik tersebut.
Perlukah reward dan punishment dalam pola asuh?
Menurut Justin Coulson, ahli parenting yang berbasis di Australia, pengasuhan anak yang baik bukan soal membuat anak mau melakukan sesuatu. “Memang benar bahwa kita tidak sempurna, kita mungkin masih sering bergantung pada strategi itu di ‘momen lemah’ kita. Namun, ada cara yang lebih baik,” ujar Coulson seperti dikutip dari laman Happy Family.
Coulson mencoba membedah lebih dalam tentang reward dan punishment. Reward atau hadiah terdengar positif, tapi sebenarnya sama berbahayanya dengan hukuman. Ia mengutip dari buku Punished by Rewards yang ditulis Alfie Kohn. Dalam buku tersebut disebutkan 5 alasan hadiah itu sebenarnya buruk, yakni:
1. Reward punish, menjanjikan hadiah adalah ancaman hukuman. Moms dan Dads mungkin pernah menjanjikan anak boleh makan es krim saat ia menghabiskan makan siangnya. Secara tidak langsung, ini sebenarnya ancaman bahwa kalau anak tidak habis makan siangnya maka ia tidak boleh makan es krim.
2. Reward bisa memutus hubungan, sebab memberikan reward membuat sebuah hubungan jadi hubungan yang transaksional.
3. Reward dapat mengabaikan alasan yang membuat Anda merasa menyuruh anak melakukan sesuatu dengan iming-iming hadiah itu sah-sah saja meski tanpa alasan.
4. Reward mengurangi pengambilan risiko. Karena mengejar reward, anak jadi mengabaikan risiko dari apa pun tindakannya.
5. Reward melemahkan motivasi, penelitian menunjukkan orang yang mengejar reward cenderung memiliki hasil pekerjaan yang buruk.
Sementara itu, punishment atau hukuman dianggap orang tua sebagai tindakan yang adil. Moms dan Dads mungkin menganggap menghukum anak akan memberikan Si Kecil pelajaran.
Menurut Coulton, tidak ada anak yang berpikir untuk melakukan lebih baik atau berusaha lebih keras untuk jadi anak baik setelah dihukum. Sebaliknya, hukuman bersifat merusak. Si Kecil bisa kesal, marah, dan menganggap Moms dan Dads tidak peduli padanya.
Alternatif lain selain reward dan punishment
Reward dan punishment dalam pola asuh masih banyak dipraktikkan dalam parenting. Namun, Coulton menganggap ada pendekatan yang lebih baik sebagai alternatif. Dia menyebut pola asuh berkualitas tinggi terdiri dari tiga hal utama, yakni:
1. Keterlibatan
Orang tua perlu terlibat dalam kehidupan anak mereka. Di sini Moms dan Dads dapat berperan memberikan perawatan, pengawasan, dan pemantauan yang tepat. Perlu ada kesadaran bahwa ini bukan soal pengawasan melainkan kesadaran bahwa Si Kecil dan apa yang dilakukan plus dukungan orang tua sangat diperlukan.
2. Aturan
Orang tua sebaiknya memberikan aturan dan rasa aman bagi anak. Ini termasuk melakukan pembicaraan dengan anak tentang tantangan yang mungkin ia hadapi, seperti kesulitan dalam pertemanan, pornografi, hingga benturan norma dan etika. Anda sebaiknya berdiskusi dengan anak untuk mencari solusi dari setiap tantangan yang ia hadapi agar ia tetap merasa aman.
3. Dukungan
Ketimbang menerapkan reward dan punishment dalam pola asuh, Moms dan Dads lebih baik menawarkan dukungan bagi anak untuk membuat keputusan sendiri. Dari sini, Si Kecil akan belajar untuk mandiri dan tidak selalu bergantung kepada orang dewasa dalam membuat keputusan.
Nah, itulah beberapa hal mengenai reward dan punishment dalam pola asuh yang perlu Moms dan Dads ketahui. (M&B/Ayu/RF/Foto: Freepik)