Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Asisten Rumah Tangga

Asisten Rumah Tangga

Beberapa hari yang lalu, salah seorang yang memiliki peran penting dalam rumah tangga saya, yaitu asisten rumah tangga bernama Ati, izin cuti 2 hari untuk keperluan keluarga dan berjanji akan kembali dalam waktu 2 hari. Spontan saya langsung melihat jadwal, apakah saya memiliki pekerjaan saat ia cuti? Dan ternyata, jadwal saya bekerja pas sekali dengan hari saat ia akan kembali ke rumah kami. Saya pun langsung memberikan "lampu hijau” kepadanya.

 

Dua hari kemudian, di hari yang seharusnya ia kembali, Ati mengirim pesan pendek. Ia katakan bahwa ia akan ambil cuti selamanya, alias tidak kembali bekerja bersama keluarga kami dengan alasan ingin membantu orang tua di kampung karena ibunya sedang sakit. Ati telah bekerja bersama kami selama 1 tahun lebih, dan orangnya sangat jujur dan rajin.  Membaca pesan di mana ia tiba-tiba minta berhenti, jujur saya kaget, sedih, jengkel, bingung,  dan langsung berpikir, oh no, not again!! 

 

Here we go again! Saya harus berhubungan dengan penyalur-penyalur jasa. Sepertinya sudah sering sekali saya mendengar pernyataan atau alasan seperti itu dari para asisten rumah tangga yang ingin berhenti bekerja. Beginilah siklus ibu rumah tangga yang tinggal di kota besar di Indonesia. Saya mencoba untuk menghibur diri sendiri dari kekecewaan.
Entah mengapa, kejadian-kejadian yang sangat mengejutkan dengan para asisten rumah tangga selalu saja bertepatan di hari yang seharusnya saya memiliki extra back up “help" untuk menjaga stabilitas jadwal seisi rumah.

 

Di hari tersebut, saya memiliki 2 jadwal meeting dan satu interview radio. Sementara anak saya yang besar memiliki 2 tambahan les setelah usai sekolah. This is just perfect! I thought. Bagaiman saya membagi waktunya, ya? How am I going to this, how am I going to survive today?

 

Jadi agenda saya pada hari itu adalah:
Pagi sebelum anak bangun,
05.30-07.00: Membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan, untung sudah nyolong start.
07.00-09.00: Menyiapkan Cici Emily untuk sekolah, lalu mengantarnya ke sekolah sambil membawa Dede yang baru bangun dari mimpi indah. Sambil berpikir, kenapa Si Mbak tiba-tiba minta berhenti tanpa sebab.
09.00-10.30: Sarapan untuk Sophia, mencuci baju, memasak untuk makan siang anak-anak, prepare untuk pergi meeting dan interview.
10.30-12.00: Interview dan meeting ditemani oleh Sophia yang super aktif di manapun ia berada. Terkadang di tengah-tengah meeting saya harus lari mengejarnya karena ia mulai eksplorasi ke luar dari tempat pertemuan, haha.
12:00-14.30: Jemput Emily di sekolah, makan siang bersama anak-anak, dan mengantar Cici Emily les.
14.30: Pulang dan menidurkan Sophia.
15.00: Pulang les tenis, Emily ikut pulang bersama temannya (thank God for other supporting mothers).
15.00-17.00: Meeting selanjutnya dan back up batuan dari mama tercinta datang untuk menjaga Sophia yang sedang tidur.
17.00-20.00: Memasak untuk makan malam. Oh iya, angkat jemuran, memandikan anaka-anak, makan malam, dan meminta Emily untuk mengerjakan PR.
20.00-21.00: Olahraga ala crossfit di ruang keluarga dan bermain bersama anak-anak, lalu menidurkan anak.
21.00-22.30: menyetrika pakaian yang sudah kering, lalu baru inget saya belum mandi, jadi mandi, deh.
22.35: Zzzzz

 

Jadwal yang saya tulis mungkin sangat normal dengan para ibu yang lain, tapi jujur saja, untuk saya, rasanya supeeer bangga! Wah, ternyata saya bisa jadi “ SUPER WOMAN!” pikir saya. Tapi ternyata ngga super-super banget, sih, karena begitu sampai kasur, saya langsung  melaju ke dunia mimpi.

 

Jika pengalaman yang sangat seru ini kembali mampir dalam kehidupan, saya selalu diingatkan bahwa:
1. I am too spoiled as a mother!! Dan sebenarnya, saya bisa memberikan lebih kepada anak, karena ternyata tanpa ada siapa-siapa yang membantu, mau ngga mau, saya harus fokus dengan mereka. Dan ketika saya sangat fokus dengan mereka, ternyata sangat meninggalkan sebuah perasaan yang rewarding. Cause I get to see small things that I dont really pay attention to, which means I get distracted with unimportant matters quite often.
2. Para asisten rumah tangga hadir di keluarga kita dengan tanggung jawab yang sama pentingnya dengan kita. Never underestimate what they do, karena tanpa mereka pun kita seringkali kewalahan.
3. Kita adalah seorang perempuan yang sangat mudah beradaptasi dengan keadaan, dan ternyata situasi yang membuat kita keluar dari comfort zone bisa melebarkan kapasitas kita.
Mungkin contoh yang saya gunakan sangat simple, di mana saya merupakan contoh dari sekian banyaknya ibu-ibu yang berhadapan dengan situasi yang sama. Namun yang saya sadari adalah seringkali dengan adanya “keuntungan” untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga, kita membiarkan diri kita terlalu bergantung kepada orang lain, begitu juga dengan pola pengasuhan kita terhadap anak-anak. Jujur saja, sering kali saya memilih “convinience” daripada “effort" untuk anak-anak.

 

So I guess, sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan dengan pekerja di rumah bisa membuat kita lebih menyadari potensi kita sebagai seorang ibu rumah tangga, seorang ibu bagi anak dan sekaligus sebagi pekerja freelancer.

 

Don’t let comfort distract you from who you can become.