Adegan ini mungkin akrab bagi anda: Terburu-buru saat pagi hari menyiapkan anak sekolah, dengan segala hiruk pikuk akibat sekian banyak orang bersiap-siap di waktu yang sama, dengan kita tidak henti berseru “Ayo cepat Kak, abisin sarapannya!” “Kak, buruan deh pake sepatunya!” “Kak, jangan lama-lama ayo kita harus berangkat nih!”.Terkadang seperti itulah suasana pagi hari di rumah kami. Ya ok, bukan terkadang, tapi hampir selalu.
Pindah suasana, di mall. Kebersamaan bersama si kecil, ternyata saya sadari juga sering diwarnai dengan ujaran-ujaran seperti: “Ayo dong Kak, buruan diabisin makanannya.” “Eh kakak udah jangan dimainin itu, sini buruan ikutin Mama, jangan ketinggalan jalannya”. “Ayo buruan putuskan, mau pilih yang mana? Cepetan deh!”.
Atau bahkan saat bermain bersamanya di rumah. “Kakak, ayo dong Mama nungguin nih Kakak gambar bunga kayak yang Mama minta. Lama banget sih.” “Mau baca buku yang ini lagi? Aduh tadi kan udah, yang lain aja yah, sini Mama aja yang pilih biar cepet.”.” Mana kak, lego yang mau dipasang, ayo cepetan ambil”.
It’s always go go go. Quick, quick quick.
Saya dulu merasa ini semua adalah hal biasa. Namanya juga menjadi parents di kota besar. Harus selalu sigap dan siaga dengan jalannya waktu, demi kelancaran agenda acara hari itu. Banyak kan yang mesti dipikirin. Menghindari macet, janjian meeting, deadline pekerjaan, dan lain-lain. It’s how people live. But of course I was wrong. And like many parents, I got reminded of how wrong I was by my child.
Seperti banyak kesempatan sebelumnya yang pernah terjadi pada saya, Lilou anak saya kembali memberikan pemikiran dan pada akhirnya pelajaran tentang hidup. Berupa pertanyaan dengan nada protes setelah untuk kesekian kalinya saya menyuruhnya untuk cepat-cepat mengikuti saya, dan agar tidak berhenti untuk melihat bunga di toko bunga yang kami lewati (Yes, I literally told her not to stop and smell the flowers). Dia berkata “Mama kenapa buru-buru terus sih?Huh…” Melihat bibirnya manyun dan kepalanya tertunduk membuat saya sadar, bahwa saya membebaninya dengan menyuruhnya untuk senantiasa bergegas. Saya tidak peka dengan dunianya, dengan apa yang sedang dia rasakan. Bisa saja dia capai atau ngantuk, atau sedang mood untuk mengeksplor dunia sekitarnya, untuk mengagumi sesuatu, menghayati hal baru, atau menikmati hidupnya. Karena saya memaksanya untuk ikut “terburu-buru” bersama saya, saya merebut kesempatannya untuk menikmati hidupnya.
Sayapun tersadar bahwa saya fokus pada hal yang salah. Yang penting adalah bukan bagaimana mengatur waktu, tapi bagaimana mengisi waktu. Waktu bersama si Kecil, yang semestinya menjadi pusat perhatian saya adalah dirinya, bukannya malah memikirkan bagaimana menuntaskan berbagai errands di hari itu.
Memang terkadang tak bisa dipungkiri jadwal sebagai working Mom bisa sangat menuntut dan menjadi sangat sulit untuk bisa meluangkan waktu dengan bebas. Tapi saya akan berusaha, dikala bisa, untuk memberikan waktu dan perhatian saya seutuhnya saat bersama anak-anak saya. Untuk tidak menyuruh mereka untuk cepat-cepat menyudahi apapun yang mereka sedang lakukan. Untuk mengamati dan memperhatikan perkembangan mereka, kesukaan mereka, cerita-cerita mereka. Untuk benar-benar menjadi bagian dari hari mereka. Untuk sejenak saja melupakan waktu, dan membiarkan diri seutuhnya menjadi milik mereka.
Saya juga terpikir, kalau saya tidak menghentikan “kebiasaan buruk” ini, nantinya saya bisa mencetak generasi baru yang selalu “buru-buru”. Saya tentunya tidak mau anak saya nanti saat dewasa menjadi wanita-wanita yang kemana-mana seperti dikejar waktu. Apalagi sampai terbawa hingga menjadi suka buru-buru menghakimi orang atau buru-buru membuat kesimpulan. Amit-amit deh.
Menyadari kesalahan saya dan sembari berjanji dalam hati untuknya, saya memeluknya dan berkata “Maafin Mama, yaudah kita pelan-pelan saja yah”. From now on, I’m gonna take my time with you kid.
Keep Calm,
and Enjoy Mommyhood