Saat menulis artikel ini, saya sedang menyiapkan pesta ulangtahun anak saya yang bungsu, Filippa, yang akan berulang-tahun ke 2.
Di tengah sibuknya persiapan acara ultah, ada pemikiran lain yang mengusik hati saya. Sudah beberapa lama ini saya berusaha untuk tidak mengindahkannya, tapi pemikiran ini terus kembali di saat-saat random, membuat saya bengong mendadak di tengah aisle supermarket atau bergidik sejenak di tengah-tengah meeting dengan client. Apa yang membuat saya galau berat seperti ini? Hanya satu hal. Saya ngeri membayangkan sebentar lagi harus kembali menjalani satu proses menakutkan: Potty Training *cue backsound film horor*.
( Note: Usia 2 tahun biasanya menjadi momen untuk anak belajar menggunakan toilet dan belajar lepas dari diaper, karena di usia itulah dia biasanya sudah bisa berkomunikasi dan bisa menerima instruksi, sekaligus momen tepat untuk naik level dalam hal kemandirian)
Karena topiknya Potty Training, maka siap-siap saja, saya akan menjadi tipe orangtua yang paling tidak disukai orang-orang single/belum berkeluarga. The Over-sharing type. “Ewww too much info!” teriak teman teman single saya jika saya curhat soal kebiasaan BAB anak saya. Tentunya, saya tidak peduli dan malah menunjukkan foto. Teman pingsan kejijikan.
Kenapa saya bisa bergidik ngeri menghadapi prospek menjalani potty training anak kedua, karena masih segar dalam ingatan, saga potty training dengan anak pertama saya, Lilou. Saya masih ingat benar bagaimana di awal saya merasa begitu percaya diri, menganggap segalanya akan semudah yang terlihat di video tutorial Youtube berjudul “Potty Training Fast and Easy” atau “Success in 7 Days: Toddler Potty Training”. Ok gampang nih! Ujar saya congkak. Ternyata, seperti yang banyak manusia temukan dalam hidupnya, tidak segala sesuatu yang kita dapati di internet itu benar adanya.
Dari awal mencoba menjelaskan konsepnya pun saya sudah mengalami kendala. Anak seperti tidak mau melepas kepraktisan hidup dalam melepas hajat di mana pun dan kapan pun mereka mau. Kenapa harus ditahan sih? Mencoba menjelaskan bahwa untuk menjadi bagian masyarakat yang dihormati, sebagai manusia dewasa yang dapat berfungsi maksimal, maka dia harus bisa pipis dan pup di toilet dan cebok sendiri, juga tidak mempan.
Berbagai trik juga kami jalankan, dari memberikan reward coklat, membuat chart sticker yang bisa ditukar hadiah kalau sudah penuh, membacakan cerita mengenai anak hebat yang bisa pipis sendiri, membuat drama boneka dengan lakon “Ke Toilet Yuk”. Yang terakhir ini saking serunya si anak menyaksikan, sampai dia pipis di celana karena tidak mau melewatkan bagian klimas drama boneka ini. Ya, ironisnya maksimal.
Sampai sekarang saya tidak akan lupa berbagai perjuangan Potty Training dengan tantangan hariannya. Ada sebuah quote terkenal dari Eleanor Roosevelt yang berkata “Do One Thing Every Day That Scares You”. Well Mrs Roosevelt, saat masa potty training, quote ini menjadi hidup saya. Setiap hari saya selalu ketakutan, “kecelakaan” apa lagi yang akan terjadi hari ini.
“Bagaimana Lilou, pipis di mana hari ini?” tanya saya takut-takut, setelah berlatih lepas diaper dua bulan. Dan Lilou akan menjawab dengan bangga, “Aku pipis di lantai, pipis di karpet, pipis di mba, pipis dimana manaaa!”. Yak, saatnya mengulang kembali penjelasan soal konsep dasar potty training.
Pernah juga dengan dengan lantang dia berseru, “Mama, aku mau pipissss!” yang saya jawab sambil menghela napas “Ok baby, tapi lain kali bilangnya sebelum pipis yaa” kata saya sambil mengelap genangan pipis di lantai yang masih hangat.
Saya juga tidak akan lupa momen dimana Lilou memberitahukan pada saya dengan mata berbinar-binar “Mama aku tadi pipis sambil duduk loh!”. Saya katakan padanya “Ok good job sayang, tapi lain kali duduknya di toilet yah, bukan di sofa”.
Begitu banyak momen “Oopps!” yang kami lalui. Lilou tidak bisa menahan hasrat pipis saat sedang bertandang ke rumah teman dan rumah saudara, atau saat sedang dalam gendongan. Saya rasa semua ibu juga pasti pernah mengalami momen dimana terbangun tengah malam mendapati kasur basah diompoli Si Kecil, dan saking ngantuknya kita hanya akan menutupi area basah dengan sebidang handuk dan tidur kembali. Ada kan yang seperti itu? Please? (Cari teman)
Kami juga sempat merasa lebih banyak melewatkan waktu di kamar mandi dibanding ruangan apapun di rumah, demi menguatkan semangat anak kami untuk bisa sukses menggunakan toilet. Menenangkan anak yang menangis, menenangkan diri sendiri yang mau menangis, menyemangati anak dengan yel-yel terkoordinasi ala cheerleader, membacakan berbagai buku cerita anak, bernyanyi bolak balik semua lagu anak yang kami pernah tahu, sampai mencoba memberikan pep talk ala motivator “Kamu pasti bisa ‘Nak. Yang penting kamu harus percaya kalau kamu bisa, kalahkan rasa takut dalam dirimu, dan keluarkan usaha terbaikmu. Yang terpenting adalah USAHA, karena tanpa USAHA takkan ada HASIL!”. Hasilnya, anak hanya memandang bingung kedua orangtuanya.
Kami lewati juga momen dimana kami merasa girang luarbiasa karena akhirnya Lilou bisa mengerti dan mengerjakan “urusannya” di toilet sebagaimana mestinya. Rasanya mau keluarin confetti curah dan nasi tumpeng untuk merayakan. Tapi ternyata esok harinya kembali mundur, ulang dari awal. Saya hanya bisa tertunduk lesu sambil menyapu confetti curah khayalan yang berserakan.
Di masa-masa kelam seperti ini, saya sangat berterima kasih pada kopi, yang terus memberikan saya energi dan kekuatan untuk menjalani hari demi hari, dan juga pada suami saya, yang saya cintai sedikit lebih banyak dari saya mencintai kopi. (Menurut suami saya ini patut diperdebatkan).
Tapi sesungguhnya saya dan suami saya belajar banyak sebagai orangtua selama menjalani potty training. Bisa dikatakan, berkat potty training, kami telah bertransformasi, menjadi manusia baru. Kami berevolusi menjadi manusia tanpa saraf jijik seutas pun dalam tubuh. Setelah menemani anak dalam berbagai drama urusan kamar mandinya, pemandangan kotoran apapun tidak akan menggemingkan kami lagi. Reaksi kami saat ada “kecelakaan” akan sigap dan cekatan ala anggota SWAT menjinakkan bom. Tanpa kata-kata, langsung clean up action. Kami juga menjadi jauh lebih sabar, dalam segalanya. Saat kita pernah menunggui anak sejam di toilet tanpa hasil, maka daya kesabaran kitapun terlatih dan bisa menyaingi pendeta kuil Shaolin. Kamipun mengalami fase dimana kami bisa secara begitu obsesif membicarakan perkembangan urusan belakang anak kami. “Hari ini sudah pup? Terakhir pup kapan? Seperti apa teksturnya? Berapa lama dari duduk hingga keluar?” Sungguh luar biasa suami saya tetap bisa memandang mesra saya setelah ini semua.
Dan yang terutama kami pelajari, bahwa, sama seperti hubungan yang harmonis dan percakapan yang natural, Potty Training tidak bisa dipaksakan. Si Anak akan siap menjalankan saat dia siap. Hanya dia yang tahu kapan dia siap, dan tugas kita hanyalah menemaninya dan membantunya hingga saat itu tiba. Tidak usah membandingkan dengan anak lain, karena tiap anak berbeda. Apalagi jangan dibandingan dengan anak dari Youtube tutorial “3 Days Success Potty Training”, karena itu pasti anak yang sangat sangat luar biasa atau video itu adalah hasil editing syuting berhari-hari.
Setelah berjibaku sekian lama, setelah hampir mau menyerah saja dan mempersiapkan diri bahwa anak saya akan terus pake diaper sampai kuliah, setelah sempat berpikir “Biarlah ini menjadi masalah calon suaminya saja kelak," tiba-tiba, Lilou bisa menggunakan toilet, dan tanpa diaper, tanpa masalah. Tanpa drama. Just like that.
Jadi itupun yang akan kita terapkan pada anak kedua kami Filippa, yang sesaat lagi akan berulangtahun ke 2. Kita akan mencoba memperkenalkan konsep baru ini, dimana dia harus meninggalkan kenyamanan hidupnya sebagai toddler yang tidak perlu menahan hajat dan bisa “Let It Go” kapanpun dia mau. Tapi kami akan lalui dengan ini dengan sabar, dan mengikuti kemauan dan kemampuannya. She will be ready when she’s ready.
Karena masih banyak tantangan hidup lain yang lebih besar nanti akan dihadapinya, begitupun kami sebagai orangtuanya, jadi kita akan jalani saja pelan-pelan dan pasti, sebelum naik level menuju masalah baru yang tak akan ada habisnya.
Seperti halnya Lilou dulu, yang dengan ekpresi terharu campur bangga, mengumumkan pada seisi rumah, “Mama Papa, tadi Lilou pipis sendiri, di toilet!”. Yang kami jawab dengan haru dan bangga juga “Pinter sayang! Tapi lain kali tidak perlu menghabiskan 1 rol penuh tissue untuk tiap kali pipis yah!” (Cisca Becker/SR/Dok. )