7 tahun yang lalu, pada 26 Juni 2010, saya dan suami menikah. Lihat wajah kita saat itu difoto ini, terlihat begitu polos dan naif ya. Dua orang di foto di atas itu, belum pernah merasakan suasana ramai di tempat permainan anak di mal di hari libur. Tidak pernah mengetahui rasanya membujuk anak yang menangis kencang untuk meninggalkan toko mainan tanpa membeli.
Saat weekend, dua orang ini akan menikmati waktu mereka hingga larut malam karena esok harinya kami bisa bangun siang. Kami bisa membaca koran dan ngobrol santai saat sarapan. Saat pergi liburan berdua, masing-masing hanya membawa satu koper ukuran kabin.
Dua orang ini belum pernah tahu soal Doc McStuffin atau mendengar nama Dibo the Gift Dragon, atau mengenal berbagai jenis kuda poni ajaib di Little Pony. Sebelum menikah, kami tidak hafal di luar kepala lagu-lagu High Five. Di mobil, kami mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan untuk orang dewasa. Saat traveling, kami tidur di pesawat terbang.
Sebelum kami berdua menjadi suami istri, tempat tinggal kami rapi dan teratur. Karpet kami tidak dipenuhi coretan crayon dan sisa playdoh. Kami belum pernah harus pura-pura minum teh dan makan kue mainan di meja pantry di dapur. Kami tidak pernah mendadak ditodong berakting dan bernyanyi ala Barney di tengah ruang TV.
Sebelum kami mengucapkan ikrar untuk hidup bersama selamanya, kami menggunakan alarm biasa untuk bangun pagi tiap harinya. Saat memilih restoran untuk makan di luar, kami memilih berdasarkan makanan yang KITA suka dan juga berdasarkan atmosfernya. Tidak pernah terpikir untuk menelpon sebelumnya untuk memastikan mereka memilki high-chair. Saat kami pergi bekerja, kami tidak pernah ditanyakan rekan kerja yang ingin tahu kenapa ada stiker Baymax di lengan kami. Kami tidak pernah harus menjelaskan kepada anak kecil yang sedang tantrum di dalam mobil kenapa es krim mencair kalau tidak lekas dimakan.
Sebelum kami memasuki mahligai pernikahan, kalau pulang dari mal kami tidak akan membawa balon berbagai warna. Kemanapun kami pergi, bahkan ke taman bermain sekali pun, kami tidak akan membawa balon pulang. Dan, kami tidak akan mendapati rumah kami menjadi seperti markas besar balon berbagai warna dan bentuk. Yang terkadang harus dikempeskan paksa saking sudah kebanyakan.
Saat masih pacaran, kita tidak pernah harus duet menyanyikan lagu Nina Bobo pada anak yang keukeuh menolak tidur. Untuk beberapa kali. Plus baca beberapa buku.
Kami juga belum tahu bahwa nonton film superhero dan Star Wars bersama anak itu ternyata seru sekali! Atau menyaksikan secara langsung ekspresi wajah terbahagia (dari seorang anak batita), padahal sekadar diberikan es krim. Kami belum pernah merasakan leher kita dipeluk erat oleh seorang anak dan wajah mereka terbenam dalam di pelukan kita.
Sebelum kita menikah dan punya anak, kita belum pernah merasakan tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata melihat tingkah anak-anak menirukan Moana dan Maui. Kita tidak merasakan tatapan cinta yang diberikan anak saat bertemu kembali di akhir hari saat pulang kerja. Kita tidak pernah bekerja sama menjadi team panitia acara ultah anak dan menyaksikannya begitu bahagia meniup lilin kue ulang tahunnya. Tidak pernah merasakan tangan kecilnya meraih tangan kita dan menggenggamnya erat, menolak untuk dilepas.
Suami saya dulu saat single, belum pernah menerima kartu ulang tahun bertuliskan “You’re the best Dad Ever!” dan saya saat masih gadis belum pernah merasakan dibisiki di telinga sebelum dia jatuh tertidur dalam pelukan, “I love you so much Mama.”
Sebelum kami menikah, kami memiliki hidup yang menyenangkan. Tapi kami tidak memiliki Lilou dan Pippa. Dan saat ini, kedua manusia kecil ini adalah sumber rasa syukur dan bahagia kami, tiap hari. Terima kasih suamiku, untuk keluarga kecil yang kita miliki ini. Walaupun konsekuensinya kita tidak pernah bisa bangun siang lagi dan karpet kita akan selalu ditandai krayon. (Cisca Becker/SR)