Ibu mana pun pasti berharap dirinya bisa optimal dalam mendidik bayi mereka. Mulai dari memberi stimulai fungsi kognisi, emosi, sampai sosialnya. Hingga kelak si buah hati bisa tumbuh menjadi anak yang pintar dan sopan.
Untuk memiliki anak seperti itu memang tidak mudah, apalagi jika Anda adalah seorang wanita karier atau ibu bekerja. Ada faktor-faktor yang harus disadari dan dikompromikan dengan suami dalam bentuk pola asuh. Tujuannya apa? Agar terbatasnya waktu yang dimiliki ibu pekerja tak jadi masalah saat mendidik anak.
Apa saja faktor itu? Simak di bawah ini penjelasan psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan (LPT) Universitas Indonesia, Mira D. Amir.
Anak pertama atau kedua?
Ya, pola asuh untuk setiap anak berbeda-beda. Minimal, orang tua harus mengeluarkan tenaga ekstra pada anak kedua, karena sudah dua anak yang harus diurusi. Dan anak pertama yang cenderung “cemburu” karena ia merasa kasih sayang orang tuanya terbagi.
“Yang jelas, anak pertama dan kedua dan seterusnya, pasti berbeda cara pengasuhnya. Harus dicari pola pengasuhannya. Agar tanggung jawab di kantor bisa selesai, tanggung jawab jadi seorang ibu tertunaikan, dan peran seorang istri tidak terlupakan,” ucapnya.
Tipe didikan sang ayah?
Suami Anda lebih ke arah mana dalam mendidik anaknya, Moms? Apakah otoriter yang sering memaksa anak, permisif yang serba boleh, demokratis yang diberi contoh, atau neglectful yang membiarkan? Mira menjelaskan bahwa setiap cara mendidikpunya efek psikologi bagi anak yang kelak menciptakan karakter-karakter tertentu. Semisal, kalau otoriter, maka bakal lahir anak yang kurang inisiatif dan kreatif. Kemudian permisif, membuat jadi kurang cakap mengontrol diri. Atau demokrasi yang membuat anak bakal percaya diri, mandiri, dan kreatif.
“Pertanyaannya sekarang: apakah dengan keterbatasan waktu seorang ibu pekerja – yang sebenarnya anak mengharapkan kehadiran ibu – bila disandingkan dengan pola didikan otoriter bakal efektif melahirkan anak sehat baik emosi, psikolog, dan sosial? Tentu, tidak. Lebih cocok, cara mendidiknya dengan cara demokrasi,” terangnya.
Tipe kerjaan?
“Apakah sifat pekerjaan itu stressfull, atau sekedar rutinitas? Anda harus tahu betul itu. Kalau kerja cuma rutinitas saja, sangat mungkin untuk ibu pekerja berhasil mendidik anak dengan baik. Jadi, sampai rumah bisa langsung fokus mengurus anak, entah itu mengajak main, belajar atau makan bersama. Intinya, sangat disarankan kalau wanita pekerja itu yang rutinitas saja, yang mana saat di rumah sudah tidak memikirkan kerjaan lagi,” papar Mira.
Jarak lokasi rumah dan kantor?
Ya, menurut Mira faktor ini mengambil peranan penting sekali. Sebab, kendati pekerjaan “cuma rutinitas” tapi jarak kantornya jauh – yang menyebabkan sampai rumah larut malam, sulit untuk bisa mendidik anak. Jalan keluarnya dari kondisi itu – kalau memang masih mau kerja – harus kerja sama dengan suami. Contoh, suami harus sudah sampai rumah duluan. Dan, mau menggantikan peran Anda untuk mendidik anak – entah dengan bermain, mengobrol, makan bersama, dan mendongeng.
Punya tim pendukung?
Ah, Anda pasti kurang lebih sudah tahu maksud kalimat di atas. Betul! Solusi agar gampang mendidik anak ialah Anda punya tim support atau tim pendukung untuk menjaga dan mendidik anak Anda. Apakah itu saudara, tante, nenek, baby sitter, atau asisten rumah tangga. Jadi, selagi Anda berkerja, anak Anda ada yang mengawasi, memberi makan, dan juga mengajak mereka bermain.
Adakah masalah kesehatan?
Sebagai ibu pintar, kami yakin Anda tahu betul bahwa anak terlahir dalam berbagai kondisi. Ada yang sehat normal dan ada yang berkebutuhan khusus. Jika anak yang Anda normal dan Anda selama 6 bulan pertama sudah memberi ASI eksklusif, maka bisa untuk ditinggal bekerja. “Tetapi, kalau anak Anda berkebutuhan khusus di mana kehadiran seorang ibu sangat dibutuhkan, baiknya Anda perlu pikir dua kali untuk ambil keputusan bekerja,” ucap Mira. (Qalbinur Nawawi/Dok. Pixabay)