Asumsi. Apa yang terlintas dipikiran moms begitu mendengar kata itu? Pemikiran yang suka menduga-duga? KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sendiri mengartikan asumsi sebagai landasan yang dianggap benar. Dalam dunia kerja, elemen ini sering luput dalam perhatian pekerja. Padahal, asumsi bisa memengaruhi performa kerja, bahkan bisa membuat performa jadi 'buruk'.
Vitayanti Wardoyo, Founder dan Managing Director Dynargie – lembaga konsultan yang berfokus pada pengembangan karyawan, menjelaskan, tak sedikit karyawan yang masih suka memakai asumsi yang belum tentu benar dalam situasi atau tantangan baru. Ya, masih banyak yang memakai pengalaman masa lalunya untuk menghadapi situasi baru saat ini.
Baiklah, pengalaman kerja memang sangat berharga untuk menghadapi situasi baru. Apalagi, pengalamannya sudah bertahun-tahun dan berjaya di masa lalu. Tapi, itu bukan berarti Anda jadi sosok yang pasti benar dalam 'membaca' situasi baru. Entah dalam merencanakan perkerjaan tahunan, memutuskan strategi bisnis baru atau memutuskan kebijakan. Karena, bisa saja kondisi yang kita hadapi sudah tidak relevan lagi. Atau, kita hanya terjebak dalam asumsi.
Sebagai contoh, bayangkan Anda adalah seorang SPG mobil mewah berwajah cantik. Anda sedang membuka stan di mall, kemudian ada seorang laki paruh bayu berambut warna putih, pakai celana pendek, berkemeja lusuh, pakai sendal, memegang plastik kresek hitam, dan mendekati Anda lalu bertanya seputar mobil dan harganya. Apa reaksi yang Anda berikan ke pria tua?
Secara alam bawah sadar Anda pasti menganggapinya dengan ogah-ogahan dan ekspresi datar. Mengapa begitu, karena dari cara dandannya tampak bukan custumer potensial dari yang Anda cari: orang kaya. Benar, tidak?
Tapi, bagaimana kalau pria tersebut adalah pengusaha yang telah lama mengincar mobil itu, lalu berkata, “Apakah menerima pembelian mobil lewat uang cash? Kalau boleh, ini uangnya. Saya beli mobil itu,” sambil menyerahkan plastik hitam ke Anda. Apa reaksi Anda?
Inilah bahayanya dari asumsi ya moms. Jika tidak berhati-hati bisa menjauhkan kita dari opportunity atau kesempatan – entah mencapai target perkerjaan, mendapatkan pendapatan, atau mengembangkan bisnis.
Tidak percaya?
Sederhana saja: coba bayangkan kalau dia tersinggung dengan sikap Anda yang tidak antusias menjawab pertanyaannya tadi? Anda bisa kehilangan pemasukan. Produk yang Anda jual jadi tidak laku.
Lantas, bagaimana cara supaya kita tidak berasumsi? Dalam buku Fun Leader Funtastic Result, Vita menjelaskan, seseorang harus mau membuka hati dan pikirannya terhadap hal-hal baru setiap hari.
Sebab, hanya dengan mindset seperti itu, seseorang – entah itu pegawai atau pemimpin – akan selalu jadi pribadi rendah hati, mau belajar dan berani bertanya. Konkretnya, Anda akan jadi orang yang senang mengecek atau bertanya sebelum 'melangkah' ketimbang berasumsi – yang sering melelahkan pikiran dan menyedot energi seseorang.
“Bila Anda seorang pemimpin, dalam menghadapi anak buah, pikiran yang tidak dipenuhi asumsi memberi kesempatan pada anak buah agar berkembang. Mereka akan berani mengajukan alternatif-alternaif baru. Hal itu karena kita sebagai atasannya membuka hati, membuka diri, dan pikiran mengkaji bersama hal-hal baru dengan mereka. Situasi ini akan membuat mereka tidak takut mencoba,” urai Vita.
Hal ini bagus untuk organisasi tempat seseorang berkerja. Karena value kerja yang dikedepankan selalu mengkroscek atau mengonfirmasi data sebelum 'melangkah'. Ilustrasinya, kalau Anda ingin pergi ke Bandung dari Jakarta, Anda sudah melakukan pengecekan: apakah bensin yang ada cukup sampai tujuan? Mana jalur yang paling cepat untuk sampai ke tujuan? dan cukupkah uang yang ada untuk sampai ke tujuan? Jadi, biar nantinya tidak berhenti ditengah jalan karena bensin tidak cukup, atau sampai ke tempat tujuannya lama. Pun orang sukses di luar sana berhasil karena mereka mampu mengukur atau mengkalkulasi tantangan atau situasi baru.
Bagaimana kalau tidak mengkalkulasi? Terkadang yang sudah mengkalkulasi saja suka meleset, Moms. Apalagi yang tidak mengkalkulasi?
Dan, memang – sekali lagi – pengalaman kerja yang kita dapatkan amat berharga. Tapi, hidup terus berubah yang selalu menawarkan tantangan baru. Kita tidak bisa mengandalkan kejayaan masa lalu untuk jadi pijakan melangkah. Kita bukan bekerja untuk masa lalu. Tapi, kita berkerja saat ini, didetik ini, di tempat kerja sekarang, untuk masa depan kita.(Qalbinur Nawawi/Dok. Freepik)