Bermain dengan bayi memang selalu menyenangkan, dan bisa menjadi quality time tersendiri bersama Si Kecil ya, Moms. Saat bermain, Moms bisa mengajaknya ngobrol, bermain ci luk ba, atau bahkan melakukan hal sesederhana berpelukan di atas kasur. Sayangnya, beberapa orang tua kerap mengajak bayi bermain, dengan cara mengguncang atau mengayun tubuh anak, bahkan ada juga yang melemparnya ke atas dan menangkapnya kembali.
Saat Anda melakukan hal itu, bayi Anda mungkin akan tertawa. Tapi tahukah Anda kalau hal itu sangat berbahaya bagi keselamatan bayi? Ya, perilaku tersebut terhitung kekerasan yang Anda lakukan pada bayi. Jika melakukannya dengan cara yang terlalu berlebihan, maka bisa mengakibatkan Shaken Baby Syndrome atau cedera yang membuat kerusakan pada otak.
Sindrom ini bisa terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Seperti saat Si Kecil menangis dan Anda menggendongnya secara asal, sehingga membuat kepalanya seperti terlempar ke posisi belakang. Atau dengan sengaja bermain bersama anak, lalu mengguncang atau melemparnya ke atas. Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan posisi kepala terhadap leher yang drastis dan mendadak, yang menyebabkan terjadinya cedera otak.
Sindrom ini sebagian besar terjadi pada anak di bawah 2 tahun dan umumnya sengaja dilakukan oleh laki-laki seperti sang ayah. Selain itu, kondisi orang tua yang tertekan secara sosial, biologis, juga finansial sangat rentan melakukan perilaku inpulsif dan agresif seperti di atas. Hal tersebut tentu menjadi penyebab cedera otak yang terjadi secara khas dan tidak sesuai dengan riwayat jatuh, kejang, atau trauma kepala lainnya.
Otak akan mengalami perputaran atau pergeseran terhadap aksisnya (batang otak) ketika terjadi guncangan yang hebat pada tubuh bayi. Akibatnya, akan terjadi robekan saraf dan pembuluh darah hingga membuat kerusakan serta perdarahan dalam otak.
Gejala Shaken Baby Syndrome
Gejala dari shaken baby syndrome sendiri sangat luas, mulai dari yang ringan hingga berat. Gejala ringan biasanya tidak spesifik, sering tidak disadari, dan membaik seiring waktu. Untuk gejala yang berat terlihat dengan anak lebih rewel dan cenderung banyak tidur, sering muntah-muntah, malas menyusui dan kontak yang berkurang.
Efeknya bisa lebih buruk, dengan adanya penurunan kesadaran, kejang, hingga kematian. Jika terlambat mendeteksi bisa terjadi pendarahan di otak yang membuat anak mengalami gangguan belajar atau gangguan perilaku saat anak lebih besar.
Cedera Mata & Tulang
Selain itu, sindrom ini dapat juga menyebabkan cedera pada mata dan tulang. Karena tubuhnya yang masih kecil dan bertumbuh, ada beberapa bagian yang menjadi rentan gagal tumbuh karena guncangan tadi.
Cedera pada mata ditemui dari pendarahan retina pada satu atau kedua mata. Keluhannya sulit terdeteksi karena Si Kecil tidak mengeluhkan kondisi gangguan penglihatan yang dialami. Sedangkan cedera tulang bisa terjadi dengan patahnya tulang di bagian igam lengan dan tungkai. Hal ini terlihat jika ada memar atau luka tidak biasa yang muncul setelah tindakan kekerasan dilakukan.
Cara Mendiagnosa
Untuk mendiagnosa shaken baby syndrome perlu dilakukan wawancara mendalam, baik dari orang tua maupun yang mengasuh anak setiap hari. Kemudian, dilakukan CT scan atau MRI jika diperlukan untuk melihat kerusakan atau cedera yang terjadi dalam otak. Sedangkan rontgen juga bisa dilakukan untuk menemukan cedera pada tulang, serta pemeriksaan mata lebih lanjut.
Mengganggu Kecerdasan Anak
Efek cederanya sendiri akan lebih berat jika perilaku kekerasan dilakukan secara sengaja. Angka kematian akibat hal tersebut pun sekitar 13 persen. Dan umumnya, anak yang selamat dari sindrom ini mengalami gangguan saraf dan kecerdasan, yang akan terlihat saat anak berusia lebih dari 6 tahun.
Sebagai pencegahan sindrom ini terjadi pada Si Kecil, hindarilah bermain atau bercanda dengan mengayunkan, mengguncang, atau melempar bayi. Awasi juga saat akan mengajak bayi bermain dengan ayunan atau saat ia menghabiskan waktu dengan saudaranya. Pilihlah pengasuh yang sehat secara fisik (juga sehat kejiwaannya) agar tidak membahayakan anak. Begitu juga dengan kedua orang tua, agar berkonsultasi dengan psikolog/psikiater jika memang memiliki masalah psikis.
(Vonia Lucky/TW/Dok. Freepik, IDAI)