FAMILY & LIFESTYLE

Waspadai Epilepsi pada Anak



Epilepsi merupakan masalah neurologi kronis yang cukup banyak dialami anak-anak. Namun sangat disayangkan, masyarakat masih kurang mendapat pengetahuan yang benar tentang epilepsi pada anak.

Berbagai masalah dapat menyertai anak dengan epilepsi, seperti berbagai penyakit penyertanya atau dikenal dengan istilah komorbiditas. Menurut Dr. dr. R.A. Setyo Handryastuti, Sp.A(K), komorbiditas epilepsi pada anak ini dapat disebabkan oleh penyebab epilepsi itu sendiri, berupa kerusakan atau gangguan pada perkembangan otaknya, yang dapat disebabkan oleh jenis epilepsi tersebut atau karena pengobatannya.

Komorbiditas bisa berupa perkembangan anak yang terlambat, gangguan kognitif, problem belajar dan ADHD, depresi dan kecemasan, hingga autisme. Umumnya, perkembangan anak yang terlambat terjadi pada anak epilepsi dengan gangguan perkembangan otak yang terdeteksi dari CT Scan atau MRI kepala, serta anak yang terlambat duduk, berjalan, dan bicara. Komorbiditas ini dapat terjadi sebelum atau sesudah terdiagnosis epilepsi. Oleh karena itu, anak tersebut perlu beberapa terapi dan rehabilitasi, seperti terapi okupasi, wicara, dan fisioterapi.

Sementara, komorbiditas pada gangguan kognitif mencakup inteligensi, atensi, belajar, memori, dan unsur-unsur yang mendukung perkembangan kognitif lainnya. Komorbiditas ini memengaruhi perilaku dan keterampilan sosial. “Anak yang mengalami komorbiditas ini umumnya mengalami epilepsi yang sulit diobati, rata-rata mereka memiliki skor IQ 84. Sebanyak 30-40 persen anak dengan epilepsi memiliki problem atensi semacam ini. Selain itu, performa akademis mereka juga terganggu,” lanjut dr. Handry. Untuk mengatasinya, Si Anak perlu berkonsultasi ke psikolog untuk melihat potensi kecerdasan, juga menentukan sekolah yang sesuai.

Mereka yang mengalami masalah belajar dan ADHD, umumnya anak ber-IQ normal, tetapi ia mengalami masalah pada pencapaian akademis, seperti kemampuan matematika, problem membaca, dan lainnya. “Risiko mengalami ADHD pada anak epilepsi cukup tinggi, yaitu sekitar 44 persen. Faktor risikonya bisa dari jenis epilepsi itu sendiri ataupun obat yang digunakan. Namun, diagnosis ini harus dipastikan, apakah memang betul ia mengalami komorbiditas masalah belajar dan ADHD,” ungkap dr. Handry.

Selain itu, pada komordibitas depresi dan kecemasan, Si Anak berisiko tinggi mengalami problem psikiatri. “Anak dengan epilepsi lebih berisiko mempunyai problem perilaku internal, seperti depresi dan cemas. Oleh karena itu, sangat perlu dideteksi dengan benar oleh orangtua dan guru,” tambahnya.

Lain halnya dengan komorbiditas autisme. Dokter Handry mengatakan, anak autis berisiko lebih tinggi mengalami epilepsi. Begitu juga sebaliknya, anak dengan epilepsi berisiko autisme lebih tinggi. Epilepsi dan autisme berkaitan dengan beberapa gangguan gen yang sama. Kasus epilepsi pada anak autis ini terjadi sebanyak 5-38 persen di Indonesia. Untuk kasus ini, Anda perlu mengendalikan kejang Si Kecil dengan obat anti-epilepsi. (Aulia/DMO/Dok. Freedigitalphotos)