FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Month: Gina S. Noer



Meraih penghargaan di berbagai ajang bergengsi bukan tujuan Gina S. Noer (filmmaker, director, script writer) dalam membuat film. Ibu 2 anak ini justru lebih bahagia ketika karyanya memberi dampak baik bagi penonton. Hal seperti itu yang membuat Gina selalu memiliki energi baru untuk terus berkarya.

Foto: Tri Ratna

Gina S. Noer adalah sosok di balik suksesnya film Dua Garis Biru, Like & Share, Ladies Room, Ali & Ratu-Ratu Queens, dan yang segera tayang di 17 April 2024: Dua Hati Biru. Istri dari Salman Aristo (Film Director Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Garuda di Dadaku) ini menapaki kariernya di dunia film sebagai penulis naskah, hingga kini sukses menjadi director berbagai film ngetop.

Gina selalu mampu mengemas isu berat atau tabu untuk dibahas menjadi sebuah karya film yang menarik disimak. Sarat pesan penting dan tetap menghibur untuk dinikmati. Tentu tak mudah bagi Gina menjalankan kehidupan multiperan sambil terus memproduksi film bermutu. Uniknya, Gina justru mengaku makin punya rasa takut gagal, maka ia mengaku makin semangat mengerjakan project tersebut karena yakin prosesnya akan seru.

Seperti apa serunya kehidupan Gina sebagai filmmaker, creativepreneur, dan tentunya sebagai ibu? Akankah Gina menularkan semangatnya berkarya di dunia film pada kedua buah hatinya? Cari tahu jawabannya di wawancara eksklusif M&B dengan Gina S. Noer yang menjadi Mom of the Month April 2024!

Mom Gina sedang sibuk apa sekarang?

Sekarang sedang sibuk menyelesaikan Dua Hati Biru yang akan release 17 April 2024. Pemerannya di sini kurang lebih masih sama dengan Dua Garis Biru: Angga Yunanda, Cut Mini, Lulu Tobing, Maisha Kanna, tapi yang membedakan adalah kehadiran dua pemeran baru, yaitu Nurra Datau sebagai Dara, dan ada tokoh Adam yang diperankan oleh aktor cilik Farrel Rafisqy.

Ceritakan sedikit dong, sinopsis Dua Hati Biru

Film ini adalah lanjutan dari Dua Garis Biru, kali ini kita bicara soal attachment menjadi orang tua dan anak. Jadi kita akan melihat sosok Dara (Nurra Datau) dan Bima (Angga Yunanda) sebagai anak, orang tua, dan juga pasangan suami istri. Jadi selama 4 tahun Bima berusaha merawat Adam bersama orang tuanya dan mertuanya, hingga Dara memutuskan untuk pulang dari Korea untuk ikut serta merawat Adam.

Aku kalau ada rasa takut gagal, biasanya itu malah bikin semangat. Karena tahu problem solving dan proses belajarnya akan seru. Mencintai proses itu penting banget, sehingga kalau ternyata gagal enggak masalah.

Kenapa memutuskan untuk melanjutkan kisah Dua Garis Biru?

Ada dua hal. Pertama, karena sahabat-sahabat saya yang berprofesi sebagai psikolog pernah bertanya ke saya, apakah terpikir oleh saya kalau karakter Dara itu pergi ke Korea, dia akan memiliki masalah attachment dengan Adam, anaknya. Wow, saya enggak terpikirkan sebelumnya.

Yang kedua, saya dan Wahana Kreator Nusantara ini juga sering ngobrol dengan banyak orang dan melihat dinamika keluarga Indonesia. Saya sampai di kesimpulan, ternyata rakyat Indonesia ini masih banyak yang gagap berkeluarga, lho. Kita selalu berpikir lahir, kerja, menikah hanyalah sebuah milestone yang harus dijalankan begitu saja. Padahal, ini bukan sekadar milestone tapi juga sebuah keahlian.

Dua hal itulah yang memanggil jiwa saya untuk melahirkan Dua Hati Biru. Bagi saya ini adalah kado buat rakyat Indonesia. Lewat film ini saya mau bilang kalau kita selalu punya kesempatan untuk mencintai lebih baik, asalkan kita mau bertumbuh dan berkembang bersama. Iya, berkeluarga itu mungkin enggak ada sekolahnya, tapi kan ada ilmunya.

Bagaimana awalnya bisa memutuskan untuk berkarier sebagai filmmaker?

Aku anaknya go with the flow, bukan tipikal yang punya banyak mimpi. Aku sama orang tua selalu dibebaskan mau jadi apa terserah, orang tua dukung saja. Tapi aku memang suka baca buku, nonton film, dengar musik, dan pop culture. Jadi kalau ditanya “apa yang paling disuka dari hidup ini?” jawabanku adalah proses belajarnya. Nah, filmmaking adalah proses dari singgungan banyak ilmu. Itu juga yang menyebabkan aku kalau bikin film itu isunya sering yang berat-berat, karena aku merasa itulah proses aku belajar.

Misalnya seperti waktu aku membuat film Like & Share, itu berawal dari rasa ingin tahu hubungan antara big society, anak perempuan, dan porn. Aku langsung menggali banyak buku dan mengeluarkan kesimpulannya dalam bentuk film, karena itu yang aku cintai. Hal itu yang membuat aku masuk ke dalam filmmaking.

Suka bikin film itu mungkin berawal dari waktu SMA pernah bikin film sama teman-teman, lalu kuliah di Broadcasting UI dan bikin film lagi, kemudian ditawarkan menjadi sutradara. Jadi, aku merasa membuat film adalah sebuah kesempatan, amanah, dan rezeki yang harus dijalankan sebaik-baiknya. Pernah merasa takut gagal, tapi malah makin semangat karena tahu problem solving dan proses belajarnya akan seru.

Bagaimana awal kisah Gina dan Suami (Salman Aristo) sampai memutuskan membuat Wahana Kreator Nusantara?

Suamiku adalah orang yang percaya kalau kita punya mimpi, mau usaha, kita mencintai prosesnya, maka ya sudah, go with the flow saja karena Allah SWT pasti akan memberi jalan. Jadi ketika dia melihat kalau yang kurang dari Indonesia di 2008 atau 2009 adalah penulisan, maka dia dan teman-temannya bikin workshop penulisan. Dari workshop terus ketemu partner yang lain sampai bikin production house, dan akhirnya terbentuklah Wahana Kreator Nusantara.

Jadi kalau dulu kami cuma suami istri dan orang tua, sekarang juga sekaligus partner kerja. Itu adalah proses yang terus-menerus kita jalani dan membuat kita lebih mindful, belajar listening skill dan regulasi emosi yang lebih baik untuk minimize konflik. Kalau ada konflik tentu harus dihadapi ya, kita enggak bisa lari.

Foto:
Tri Ratna

Selama berkarier, pernahkah ada momen yang bikin down?

Pasti pernah, salah satunya saat bikin film Like & Share. Dalam pembuatannya aku niatnya baik, merasa filmnya penting, terus malah dapat masalah dari beberapa pihak. makin down karena yang kena bukan cuma aku tapi juga berdampak ke tim. Ini kita dapat dorongan yang begitu besar dari luar, dipertanyakan karakter kita, secara monetizing karya juga bermasalah, tapi di lain sisi karya ini tetap berjalan ke festival di luar negeri. Menurutku itu titik komplikasi yang bikin bingung.

Menghadapi momen itu aku coba makin mendekatkan diri ke agama, aku ke psikolog, aku juga ikutan meditasi di mana 1 minggu beneran tidak berbicara, membaca, dan menulis. Jadi benar-benar hanya berbicara dengan diri sendiri. Ini benar-benar memberi makna, refleksi terhadap perjalanan-perjalanan sebelumnya. Saat itu mungkin down banget ya, tapi aku tetap bersyukur Allah kasih cobaan ini buatku, karena ini proses yang bikin kita humble di tengah perjalanan proses yang makin panjang.

Saat sedang down, apa “mantra” Gina agar semangat lagi?

“Mantra” yang aku terapkan ada dua. Mantra pertama aku kenal sejak tahun lalu saat meditasi, yaitu konsep Anicca. Konsep ini adalah segala sesuatu yang berkondisi itu pasti berubah. Entah kita lagi stres, pasti ada kemudahan setelahnya. “Mantra” kedua ini karena aku pemeluk Islam, jadi aku berpegang pada surah al-Insyirah yang menyebutkan: Sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Kalimat ini diulang dua kali di al-Insyirah ayat 5 dan 6. Jadi aku berpegang sama dua “mantra” itu saja.

Be true to yourself. Ini mungkin sulit, tapi begitu menemukannya, kita akan selalu punya energi untuk menjadi lebih baik.

Apakah anak-anak menunjukkan ketertarikan dengan dunia film juga?

Kalau si kakak sih bilangnya enggak mau bekerja di dunia film, tapi menurutku dia penulis yang lebih rajin dari orang tuanya. Kakak tuh setiap hari bisa menulis dan eksplor cerita, tapi dia tahu kalau dia tidak mau ini jadi pekerjaan pertamanya, jadi dia mau mencoba pekerjaan lain dulu. Dia suka psikologi dan ilmu sosial humaniora. Sekarang dia sedang mencari kuliah, tapi aku selalu ajarkan kalau menulis itu adalah tanda kerunutan berpikir dan merupakan basic skill yang harus dikuasai. Kamu bisa menjadi apa pun dan bisa jadi penulis. Kita bebasin dulu dia mau eksplor apa, Alhamdulillah sekolahnya juga banyak aktivitas yang mendukung, seperti harus wawancara dan career exploration.

Kalau anak yang kedua, dia terobsesi banget sama Lego dan berpikir menjadi sutradara film adalah hal yang asyik dan seru. Tapi pada dasarnya anak-anak dibebaskan untuk berpikir mandiri. Karena saat ini banyak banget group thing dari social media, semua anak seperti dipersiapkan untuk berpikir, “Kalau tidak berpikir seperti grup besar, maka kamu aneh!” Nah, jadi menurutku tantangan terbesar adalah menumbuhkan anak-anak yang nyaman dengan dirinya sendiri.

Adakah etos kerja Gina yang ingin ditularkan ke anak-anak?

Mencintai sebuah proses kerja itu penting banget, sehingga kalau ternyata gagal enggak masalah. Mencintai proses adalah value yang ingin aku tularkan ke anak-anakku, aku mau mereka selalu berusaha tanpa takut gagal. Tantangan menjadi orang tua yang punya achievement itu adalah menjelaskan ke anak mengenai prosesnya. Anak kalau cuma melihat keberhasilannya saja, achievement saja, tapi enggak melihat prosesnya (seperti susahnya, dan rasa takut gagalnya) maka takutnya anak missed the point of life.

Aku selalu bilang ke mereka, “It’s okay kalau kamu mau jadi autentik menjadi diri kamu dan kamu tahu itu akan struggle dengan prosesnya. Tapi kalau kamu happy, kalau kamu punya niat baik, dan kamu percaya kamu bisa, just do it.” Aku juga menomorsatukan agama, karena agama bukan sekadar iman, tapi juga cara buat anak-anak bisa melewati semua rintangan. Jadi mendidik anak tentang agama perlu dibuat serelevan mungkin dengan mereka.

Mencintai proses adalah value yang ingin aku tularkan ke anak-anakku, aku mau mereka selalu berusaha tanpa takut gagal.

Sebagai wanita yang bekerja di dunia film yang maskulin, apa tantangannya?

Menariknya, karena awal masuk di dunia film itu aku bekerja sebagai penulis skenario, maka tidak ada tantangannya. Jadi kalau produksi film itu kan ada yang above the line (seperti sutradara, penulis, produser, pemain, dll) ada yang below the line (tim produksi) yang kerjanya lebih memakan fisik, waktu, dan kerjanya dalam grup banyak.

Biasanya yang masuk above the line itu karena punya privilege seperti pendidikan atau keluarga yang dari menengah ke atas, sehingga tahu batasan diri dan punya daya tawar. Nah, menjadi perempuan di above the line ini tidak terlalu masalah, tapi ketika masuk ke below the line yang lingkupnya lebih besar dan hierarkinya lebih jelas itu akan lebih struggling.

Makanya ketika produksi film Cinta Pertama, Kedua & Ketiga itu kami inisiasi membuat antikekerasan seksual dan bullying di lokasi shooting. Kemudian pas produksi Like & Share kita coba ada intimacy coordinator. Hal-hal seperti itu harus diinisiasi dan diingatkan terus-menerus. Jadi, kalau ditanya soal diskriminasi gender, itu tantangannya selalu ada di tim below the line.

Nah, kalau sekarang, tantangan yang aku hadapi lebih ke waktu karena tanggung jawab juga kan sudah lebih banyak, ya. Makanya aku coba ngobrol dengan Dita Gambiro, partner Production Design Like & Share, tercetuslah ide untuk movie directing berdua Dinna Jasanti yang sama-sama ibu dan nyambung nih untuk direct Dua Hati Biru. Agar ada sentuhan dan rasa berbeda saat nonton Dua Hati Biru, jadi kita direct berdua biar seperti punya dua “orang tua” gitu sekarang. Aku rasa ini penting, karena kita ada di society yang meminta peran perempuan lebih banyak di rumah, sehingga berkolaborasi dengan partner dan berbagi peran bisa bikin lebih santai asalkan tidak ada yang besar-besaran ego.

Selama menyelami dunia film, apa momen yang paling bikin bangga?

Mungkin bukan proudest moment, tapi humbling moment. Aku pernah dapat penghargaan yang seharusnya bikin aku bangga banget. Tapi saat pulang, sepertinya biasa saja rasanya, karena itu bukan tujuan aku bikin film. Rasa yang selalu menyentuh adalah ketika ada orang tak dikenal menghampiri aku, entah peluk erat atau sekadar kirim DM di media sosial, dan mereka bilang kalau mereka merasa relate dengan film dan karakter yang aku bikin. Ada yang meneruskan hidupnya jadi lebih baik, ada yang meminta maaf karena pernah balas dendam ke mantan pacarnya, ada yang batal aborsi karena menonton Dua Garis Biru, dan banyak lagi kisah menyentuh lainnya.

Ternyata apa yang kita cintai (dalam hal ini karya film) bisa jadi titik signifikan dalam hidup orang lain. Itulah humbling moment yang aku alami. Momen seperti ini yang menjadi energi baru untuk terus berkarya.

Apa lagi yang ingin Gina raih?

Sebenarnya aku kepengin banget melanjutkan kuliah S2. Kalau orang lain mungkin gampang S2, tapi buatku karena dulu selesai kuliah langsung kerja, jadi belum kesampaian buat S2. Selain itu aku juga ada rencana menulis novel.

Foto:
Tri Ratna

Ada tips dari Gina untuk para Moms yang sedang berjuang meraih mimpi?

Sebagai ibu yang biasa punya ekspektasi dan tantangan dari banyak orang, termasuk diri sendiri, sebenarnya tantangannya adalah mencari diri kita yang autentik. Kalau kita sudah berani mencari diri kita sebagai pribadi, apa yang kita suka, apa yang kita nyaman, kalau kita merasa it feels right, then it is right. Jadi, tipsnya: Be true to yourself. Ini mungkin sulit, tapi begitu menemukannya, kita akan selalu punya energi untuk menjadi lebih baik.

Last question, mana yang lebih menantang: menjadi filmmaker, entrepreneur, atau ibu?

Yang comes naturally adalah menjadi ibu. Hal menantang selanjutnya menjadi filmmaker, dan yang paling menantang menjadi entrepreneur. Haha... (M&B/Tiffany Warrantyasri/SW/Foto: Dok. Tri Ratna, Gina S. Noer, M&B/Stylist: Gabriela Agmassini/MUA: Obby Farhobi/Hairdo: Hotnidah Nababan/Wardrobe: Masshiro&Co.)