FAMILY & LIFESTYLE

Waspadai Inflammatory Bowel Disease, Bisa Akibatkan Komplikasi dan Kematian



Moms, pernah dengar istilah inflammatory bowel disease (IBD)? Biasa dikenal di masyarakat dengan nama penyakit radang usus, IBD merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada usus kecil dan besar, di mana elemen sistem pencernaan diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.

Memperingati World Inflammatory Bowel Disease Day 2024 beberapa waktu lalu, RS Abdi Waluyo mengadakan seminar dengan tema “Kiat mendeteksi dan mengatasi penyakit radang usus/IBD” untuk menyerukan tentang pentingnya kepedulian terhadap IBD atau peradangan usus kronis yang dapat mengakibatkan komplikasi berat, bahkan kematian penderitanya.

Kepedulian terhadap IBD di dunia, termasuk di Indonesia, sampai saat ini masih sangat rendah dan gejalanya sering terabaikan, karena mirip dengan gejala diare biasa. Pasien dengan IBD memiliki angka mortalitas 17,1 per 1.000 orang per tahun, dibandingkan dengan kelompok kontrol 12,3 per 1.000 orang per tahun.

IBD sendiri merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh banyak faktor. Pada dasarnya, IBD dibedakan menjadi Ulcerative Colitis (UC), Crohn’s Disease (CD), dan kini terdapat juga tipe lain IBD, yaitu Colitis Indeterminate (Unclassified).

Pada UC, terjadi peradangan dan luka di sepanjang lapisan superfisial usus besar dan rektum, sehingga penderita sering merasa nyeri di bagian kiri bawah perut. Sedangkan pada CD, terjadi peradangan hingga lapisan saluran pencernaan yang lebih dalam, sehingga penderita sering merasa nyeri di bagian kanan bawah perut, tapi pendarahan dari rektum cenderung lebih jarang.

Prof. dr. Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RS Abdi Waluyo, menyatakan, “Pada dasarnya, penyebab IBD belum diketahui jelas. IBD ini tentu disebabkan oleh gangguan sistem kekebalan tubuh. Namun, kesalahan pada diet dan tingkat stres berlebih juga bisa memicu terjadinya IBD. Faktor keturunan juga berperan dalam IBD meskipun angka penderitanya sangat sedikit.”

Menurut Prof. Marcel, IBD yang dibiarkan bisa memperparah kondisi pasien akibat komplikasi yang ditimbulkan. Pada UC, penderitanya bisa mengalami toxic megalocon (pembengkakan usus besar yang beracun), perforated colon (lubang pada usus besar), dehidrasi berat, dan meningkatkan risiko kanker usus besar. Sedangkan pada CD, penderitanya bisa mengalami bowel obstruction, malnutrisi, fistulas, dan anal fissure (robekan pada jaringan anus).

Diagnosis IBD sendiri dibuat berdasarkan keluhan pasien, seperti nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, buang air besar berdarah, serta penurunan berat badan, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan penunjang.

“Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan di antaranya pemeriksaan feses, darah, radiologi (CT scan dan MRI abdomen sesuai indikasi), dan endoskopi saluran cerna. Pasien yang sudah didiagnosis penyakit radang usus akan dinilai tingkat keparahan penyakitnya menggunakan sistem skoring,” jelas Prof. Marcel.

“Tata laksana penyakit IBD umumnya menggunakan terapi obat (tablet dan injeksi). IBD kronis mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang rusak. Tetapi dengan adanya kemajuan dan inovasi dalam pengobatan dengan obat-obatan, tindakan pembedahan sudah jarang dilakukan sejak beberapa tahun belakangan,” tambahnya.

Terkait IBD, salah satu hal penting yang juga harus diperhatikan adalah nutrisi bagi pasien. Dokter Nathania S. Sutisna, SpGK, spesialis gizi klinik RS Abdi Waluyo mengatakan, “Beberapa faktor risiko IBD berasal dari nutrisi, yaitu akibat seringnya mengonsumsi ultra processed food dan bahan aditif makanan. Oleh sebab itu, pola makan pasien IBD harus diubah dan disesuaikan dengan pengobatan utama. Saat timbul gejala, pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dan protein yang lebih tinggi dibandingkan saat mereka sehat serta perhatikan keseimbangan cairan.” (M&B/SW/Foto: Katemangostar/Freepik)