FAMILY & LIFESTYLE

Minum Teh Setelah Makan Bisa Bikin Anemia? Ini Kata Ahli



Di Indonesia, teh adalah salah satu minuman yang digemari banyak orang. Dengan variasi jenis beragam, rasa yang enak, mudah dimodifikasi sesuai selera, dan harga yang cenderung murah, wajar jika teh menjadi minuman populer. Namun, tahukah Moms kalau teh bisa memicu anemia? Ya, faktanya meminum teh setelah atau selama makan bisa meningkatkan risiko anemia, lho.

Hal ini dibenarkan oleh dr. Linda Lestari, Sp.OG, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, di acara Konferensi Pers Sangobion: Perempuan Indonesia Berani #UbahCerita. Penasaran? Yuk, simak penjelasan lengkapnya berikut ini!

Pengertian dan gejala anemia

Anemia adalah masalah kesehatan di mana jumlah sel darah merah dalam tubuh tidak mencukupi. Anemia sendiri sering dianggap remeh karena gejala awal yang tampak ringan. Padahal, kondisi ini bisa berujung bahaya.

Pada dasarnya, sel darah merah berperan mengalirkan oksigen ke seluruh organ tubuh. Karena itu, jika jumlah sel darah merah yang sehat tidak memadai, maka asupan oksigen ke seluruh tubuh pun tidak optimal. Hasilnya, tubuh tak mampu berfungsi normal.

Gejala anemia juga beragam. Dilansir dari Mayo Clinic, beberapa gejala umumnya, yakni:

  • Mudah lelah
  • Tubuh terasa lemah lunglai
  • Napas pendek
  • Kulit pucat atau kekuningan
  • Detak jantung tak menentu
  • Kepala terasa pening atau berkunang-kunang
  • Rasa sakit pada area dada
  • Tangan dan kaki dingin
  • Sakit kepala.

Mengatasi anemia

Ada beberapa jenis anemia berdasarkan penyebabnya, yakni:

  • Anemia defisiensi zat besi. Zat besi dibutuhkan tubuh untuk membuat hemoglobin, komponen penting dalam sel darah merah. Kekurangan zat besi dapat mengurangi produksi sel darah merah yang sehat.
  • Anemia defisiensi vitamin. Selain zat besi, tubuh membutuhkan asam folat dan vitamin B12 untuk memproduksi sel darah merah yang baik.
  • Anemia akibat inflamasi. Inflamasi berat pada tubuh dapat menghambat produksi sel darah merah.
  • Anemia aplastik. Kondisi mematikan dan langka ini bisa disebabkan oleh penyakit autoimun.
  • Anemia akibat kelainan tulang sumsum. Leukimia atau myelofibrosis bisa memengaruhi kinerja tulang sumsum dalam memproduksi sel darah merah.
  • Anemia hemolitik. Kondisi ini terjadi saat sel darah merah mati begitu cepat dan tubuh tak mampu memproduksi cukup sel darah merah untuk menggantinya. Anemia hemolitik bisa diturunkan.

Cara mengatasi anemia berbeda sesuai dengan jenisnya. Di antara seluruh jenis anemia, anemia defisiensi zat besi adalah yang paling umum. Langkah mengatasinya tidaklah sulit. “Jaga pola makan sehat seimbang dan tinggi zat besi, istirahat yang cukup, serta mengonsumsi ttd (tablet tambah darah),” kata dr. Linda.

Selain itu, penting untuk memahami sumber gizi yang dikonsumsi. “Makanan sumber zat besi ada dua jenis, yakni nabati (dari tumbuhan) dan hewani (dari hewan). Sumber gizi hewani cenderung memiliki zat besi yang lebih baik untuk tubuh, karena lebih mudah diserap tubuh,” tutur dr. Linda.

Menurut dr. Linda, zat besi dalam sumber gizi nabati tetap baik bagi tubuh, tapi perlu diiringi dengan vitamin lain untuk membantu penyerapannya. Asam folat dan vitamin C adalah contoh vitamin yang bisa membantu penyerapan zat besi dalam tubuh.

Proses memproses makanan juga perlu diperhatikan. “Kalau bayam tidak bisa disajikan mentah, karena malah tidak diserap tubuh. Tapi, bayam juga tidak bisa dimasak terlalu matang, karena kandungan gizinya malah bisa menghalangi penyerapan zat besi dalam tubuh,” ujar dr. Linda.

Tak hanya itu, kebiasaan makan juga sangat penting. Dokter Linda menyebutkan bahwa penting untuk diingat agar menghindari minum teh dan kopi saat makan. “Minum teh dan kopi saat, sebelum, dan setelah makan bisa menurunkan penyerapan zat besi makanan dalam tubuh,” tuturnya.

Weni Kusumaningrum, Ketua Tim Kerja Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, menambahkan bahwa tak hanya teh dan kopi yang perlu dihindari saat makan, tapi juga susu juga bisa menghambat proses penyerapan zat besi dalam tubuh.

Perempuan rentan anemia

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi anemia pada remaja Indonesia dengan rentang usia 15-24 tahun adalah 15,5%. Meskipun begitu, remaja perempuan berisiko mengalami anemia lebih tinggi karena tingkat hemoglobin (Hb) bisa menurun hingga 9,2% selama periode menstruasi. Belum lagi bicara soal persalinan, di mana ibu bisa mengeluarkan begitu banyak darah dalam prosesnya.

Karena itu, perempuan menjadi kelompok masyarakat yang rentan mengalami anemia. Sayangnya, banyak perempuan yang menganggap enteng gejala anemia, terutama saat menstruasi. Padahal penting bagi perempuan untuk mendeteksi gejala awal untuk menghindari dampak buruk jangka panjang.

Menurut dr. Linda, ibu yang mengalami anemia sebelum maupun saat hamil dapat berdampak buruk bagi perkembangan janin. Dampak jangka panjangnya, anak bisa lahir kurang gizi dan tumbuh dengan kondisi rentan stunting.

Weni mengakui bahwa upaya pemenuhan gizi pada remaja putri di bangku SMP dan SMA telah diberikan pemerintah guna mencegah anemia pada generasi calon ibu. Beriringan dengan upaya pemerintah ini, Weni juga mengajak banyak pihak untuk menyadarkan publik akan pentingnya anemia.

Sangobion pun mengajak publik untuk tidak menyepelekan gejala anemia, terutama para perempuan, dengan kampanye #UbahCerita. Kampanye ini memberikan edukasi kepada perempuan di seluruh lapisan masyarakat mengenai pencegahan gejala anemia. (M&B/Gabriela Agmassini/SW/Foto: Freepik, Sangobion)