Beberapa wanita mengalami kondisi vagina mengeluarkan darah saat berhubungan seks. Apakah ini pertanda gangguan kesehatan yang perlu dikhawatirkan?
Kondisi pendarahan pada vagina saat berhubungan seks sesungguhnya merupakan hal normal dan bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Keluarnya darah saat bercinta biasanya disebabkan oleh kondisi vagina yang kering atau kurang elastis sehingga rentan terkena gesekan.
Namun, ada pula pendarahan saat berhubungan intim yang perlu Anda waspadai, terutama jika sering terjadi dan dalam jumlah banyak. Keluarnya darah saat bercinta juga bisa disebabkan oleh masalah kesehatan berikut ini.
Baca juga: 7 Tips Berhubungan Seks Pertama Kali Biar Enggak Sakit
1. Gejala radang serviks
Adanya radang serviks atau leher rahim bisa menyebabkan vagina berdarah saat Anda berhubungan seks. Kondisi ini disebut juga sebagai erosi serviks dan umumnya terjadi pada wanita hamil, hamil muda, dan mereka yang menggunakan alat kontrasepsi pil. Pendarahan ini bisa juga diakibatkan oleh polip serviks jinak. Polip serviks yang jinak bisa dengan mudah diangkat oleh dokter tanpa perlu melalui prosedur operasi khusus.
2. Infeksi menular seksual
Infeksi menular seksual (IMS) seperti klamidia dan gonore bisa menyebabkan pendarahan saat berhubungan intim. Selain pendarahan, gejala lain yang mengiringinya adalah nyeri panggul, gatal, sensasi terbakar, keputihan, dan frekuensi buang air kecil yang sering dan menyakitkan.
Setiap jenis infeksi memiliki gejala khasnya sendiri, dan peradangan yang disebabkan oleh salah satu IMS ini bisa menyebabkan pendarahan. Trikomoniasis adalah jenis IMS yang disebabkan oleh parasit bersel tunggal. Cairan serviks dan pendarahan serviks adalah dua karakteristik paling umum dari penyakit ini.
Sifilis dan herpes genital juga bisa menyebabkan lesi (kerusakan, pertumbuhan, atau perubahan tidak normal yang terjadi di area kulit) terbuka dan ulseratif yang mudah berdarah jika teriritasi. Luka sering muncul secara eksternal, kadang-kadang bisa berkembang di dalam vagina serta tidak menimbulkan rasa sakit dan sering tidak diketahui hingga akhirnya menimbulkan pendarahan.
3. Vaginitis atrofi
Wanita pascamenopause akan sering mengalami pendarahan selama atau setelah berhubungan seks. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya kadar estrogen yang menyebabkan dinding vagina menipis dan menghasilkan lebih sedikit lendir yang melumasi.
Kondisi ini biasa disebut dengan istilah vaginitis atrofi, suatu kondisi yang juga dikaitkan dengan gatal dan sensasi terbakar pada vagina. Vaginitis atrofi bisa diobati dengan terapi estrogen, baik yang diminum dalam bentuk pil, sebagai tambalan kulit atau krim, atau dimasukkan secara intravagina dengan supositoria.
Namun, terapi penggantian estrogen secara oral bisa membawa sejumlah risiko. Pil estrogen bisa meningkatkan risiko kanker endometrium bagi wanita yang masih memiliki rahim, sehingga harus digunakan untuk pengobatan jangka pendek atau dikombinasikan dengan progestin untuk melindungi lapisan rahim.
4. Endometriosis
Endometriosis terjadi ketika sel-sel yang mirip dengan pembentuk lapisan rahim (endometrium) tumbuh di luar rahim. Jaringan endometrium bisa menempel pada permukaan organ lain dan menyebabkan rasa sakit yang menyiksa. Beberapa orang dengan endometriosis juga bisa mengalami infertilitas.
Ada berbagai gejala endometriosis, tergantung pada organ yang terpengaruh. Bagi kebanyakan orang dengan endometriosis, hubungan seks dan orgasme akan terasa menyakitkan, sedangkan pendarahan merupakan hal yang biasa terjadi.
5. Trauma
Pendarahan postcoital sering berkaitan dengan infeksi dan kelainan pada rahim, vagina, atau leher rahim. Namun, pendarahan pun bisa terjadi ketika jaringan rentan terluka. Pendarahan juga bisa disebabkan oleh pelecehan atau kekerasan seksual. Penetrasi secara paksa, misalnya, bisa merusak jaringan vagina dan menyebabkan retakan. Luka bisa berulang kali sembuh dan terluka kembali, kecuali jika diobati secara medis. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Freepik)