Merokok tidak saja merugikan kesehatan diri sendiri, tapi juga berbahaya bagi orang di sekitar Anda, termasuk Si Kecil akan terkena dampaknya.
Untuk itu, Center for Indonesia’s Strategic Initiative (CISDI) menggelar serial diskusi Ruang Temu kedua yang menghadirkan komunitas gaya hidup dan social change-makers untuk berdialog tentang upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi tingginya prevalensi merokok di Indonesia, terutama bagi kelompok anak, remaja, dan miskin. Diskusi ini menghadirkan tiga nara sumber dari berbagai latar belakang yaitu Nurul Luntungan (CISDI), Yasha Chatab (Pakar Branding dan Komunikasi Pemasaran), serta Laila Munaf (Pendiri Sana Studio dan Penggagas Gaya Hidup Sehat), dan dimoderatori oleh Sari Soegondo (Pendiri Konsultan Komunikasi ID COMM).
Diskusi dibuka dengan mengungkapkan fakta prevanlensi merokok di Indonesia. “Saat ini di Indonesia, perokok aktif berjumlah 30% dari total populasi dan 60% didominasi oleh laki-laki. Fakta lain yang cukup mengerikan adalah jumlah perokok anak di bawah 18 tahun terus meningkat, yaitu dari 7,2 % di tahun 2009 menjadi 8,8 % di tahun 2016. Angka ini semakin jauh dari target Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 yang berada di 5,5%. Fakta ini menggambarkan bahwa belum ada dampak signifikan dari kenaikan harga rokok setiap tahunnya,” ungkap Nurul.
Diskusi ini juga menekankan pada dampak signifikan akibat tingginya prevanlensi merokok di Indonesia, yaitu kerugian negara yang mencapai Rp 500 triliun yang dihitung dari jumlah uang yang dibakar untuk merokok, hari yang hilang karena sakit akibat faktor risiko merokok, biaya pengobatan, dan waktu produktif yang hilang akibat merokok. Nurul menambahkan, “Biaya pengobatan dapat dilihat dari kenyataan bahwa 25% klaim BPJS adalah untuk penyakit akibat rokok di antaranya jantung dan kanker paru. Misalnya, dari 10 orang pasien kanker paru, sebetulnya 9 disebabkan oleh kebiasaan merokok.”
Terkait dengan tingginya beban BPJS untuk mengobati penyakit akibat merokok, maka diskusi ini juga mempertanyakan alokasi dan besaran cukai rokok. “Masyarakat pada umumnya belum paham bahwa cukai rokok bukanlah pendapatan negara dan seharusnya dialokasikan untuk biaya pengobatan yang ditimbulkan akibat merokok. Analogi yang sama juga berlaku bagi produk yang mengandung alkohol, dimana cukai yang dikenakan terhadap produk tersebut sudah cukup tinggi di Indonesia. Sebagai salah satu produk yang dapat menimbulkan adiksi, maka sudah sepatutnya cukai rokok dapat secara signifikan menutup biaya kesehatan yang ditimbulkan akibat penyakit yang bermuara dari faktor risiko akibat rokok,” tutur Sari, moderator acara diskusi ini.
Meneliti lebih lanjut tentang industri rokok, Yasha yang memiliki latar belakang branding mengungkapkan bahwa industri rokok termasuk kategori sunset industry, “Industri rokok sudah lama turun dari puncaknya dan terus mengalami penurunan akibat tingginya kesadaran masyarakat dunia pada umumnya terhadap bahaya merokok. Namun, di Indonesia, para pelaku industri berupaya untuk terus memperpanjang periode sunset tersebut dengan menjadikannya sebuah permainan pemasaran (marketing game) antara sesama kompetitor agar industri rokok dapat terus mendominasi pasar seluas-luasnya. Misalnya, mereka bisa membuat berbagai macam variasi rokok dengan menularkan nilai-nilai ‘personifikasi keren’ dari setiap brand yang berbeda. Ditambah lagi upaya penegakan hukum terhadap kebijakan beriklan rokok di Indonesia yang nyatanya masih sangat bisa diperketat, agar masyarakat tidak terekspos iklan rokok secara rutin dalam aktivitas harian mereka.”
Menanggapi faktor-faktor pendukung prevalensi merokok di Indonesia, Laila mengungkapkan,”Menurut saya, kita semua harus berupaya bersama-sama untuk ikut menurunkan prevalensi merokok di Indonesia. Salah satunya dengan mengkampanyekan gaya hidup sehat dan menjadikannya tren yang perlu diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, harus ada ketegasan dari para influencer gaya hidup sehat untuk memagari diri terhadap sponsor rokok, yang akan membuat ruang gerak industri rokok semakin terbatas.”
“Meniru kampanye pengurangan penggunaan plastik yang semakin banyak dilakukan berbagai pihak akibat edukasi di sosial media, maka harusnya cara yang sama juga bisa diaplikasikan untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat – termasuk ajakan untuk tidak merokok,” tambah Laila.
Diskusi ini mengerucut pada kesepakatan dari para pegiat gaya hidup sehat dan social change-makers terhadap upaya penurunan prevalensi merokok di Indonesia, khususnya anak, remaja, dan kelompok miskin. Pertama, diskursus tentang rokok perlu mendapatkan intervensi dari sudut pandang lain selain kesehatan. Misalnya, sudut pandang ekonomi yang dapat memberikan intervensi terhadap harga rokok dan besaran cukai rokok. Kedua, selain melakukan kampanye edukasi secara berkelanjutan, maka pegiat gaya hidup sehat diharapkan dapat ikut menjadi kelompok yang mampu mengontrol kebijakan terkait rokok sehingga dapat memberikan masukan bagi bergulirnya proses pembuatan kebijakan terkait. Ketiga, sudah saatnya harga rokok di Indonesia dinaikkan setinggi-tingginya agar mampu menurunkan prevalensi merokok terutama di kelompok yang rentan (anak dan remaja) dan kelompok keluarga miskin. (Susanto Wibowo/Dok. CISDI)