Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Month: Galih Sulistyaningra

Mom of the Month: Galih Sulistyaningra

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Menempuh pendidikan di luar negeri tidak lantas membuat Galih Sulistyaningra lupa akan kampung halaman. Perempuan berusia 30 tahun ini justru merasa perlu mengabdikan diri pada negara. Ia pun memilih profesi sebagai guru sekolah dasar negeri, sebagai upayanya untuk memberikan pendidikan terbaik kepada murid-muridnya. 

Meski begitu, Galih akhirnya harus mengakhiri perjalanannya sebagai seorang guru karena Aruna Mahija Gantari (4 tahun), anak semata wayangnya lebih memerlukan perhatian yang utuh dari dirinya. Namun, perjuangan Galih untuk pendidikan di Indonesia tidak berhenti sampai di situ saja. Meski tidak lagi menjadi guru, Galih kini mengembangkan sebuah platform belajar yang bisa dinikmati seluruh anak di Indonesia.

Lalu bagaimana keseharian Galih dalam membersamai Si Kecil, Aruna, sekaligus tetap berkontribusi pada dunia pendidikan? Dan apa saja sih kunci keberhasilan pendidikan seorang anak menurut Galih? Simak obrolan eksklusif Galih yang menjadi Mom of the Month Februari 2025 bersama M&B berikut ini, Moms!

Apa pertimbangan Galih berhenti menjadi guru?

Banyak pertimbangannya. Setelah pulang studi dari luar negeri, aku merasa perlu berkontribusi terhadap pendidikan Indonesia, salah satunya dengan menjadi guru. Memang saat itu plan-nya adalah setelah jadi guru, trus jadi pembuat kebijakan. Tapi, plan itu terjadi sebelum aku menikah.

Kemudian hidup berjalan, lalu aku punya anak, ternyata punya anak enggak sekadar punya anak. Banyak hal yang memengaruhi tumbuh kembang anak. Enggak cuma dikasih makan saja, tapi makanannya juga harus yang berkualitas dan seimbang. Lalu kemudian anakku ada masalah di tumbuh kembang dan mesti pakai alat bantu makan.

Mulailah ada pergumulan di tahun kedua aku mengajar. Tapi, saat itu juga aku masih bingung, banyak pertimbangan juga untuk resign. Sampai kemudian ada kesempatan dan kayaknya dari pengalaman aku mengajar selama 4 tahun, aku merasa ada missing link yang kayaknya masyarakat tuh belum aware pada kecakapan literasi dan numerasi anak.

Lalu pas banget aku merasa ada kesempatan buat mengembangkan platform belajar literasi numerasi buat anak, sehingga yang bisa merasakan dampaknya adalah seluruh anak Indonesia, bukan cuma murid-muridku saja. Di sisi lain juga aku bisa punya waktu yang lebih fleksibel untuk bersama Aruna.

Harapanku datang dari kesadaran bahwa ternyata pendidikan bukan cuma bisa dikerjakan sama guru dan pemerintah. Kita butuh gotong royong bersama orang tua. Orang tua itu pilar utama yang menentukan keberhasilan pendidikan seorang anak.

Setelah tidak menjadi guru, apa kegiatan Galih saat ini?

Tentunya mendampingi tumbuh kembang Aruna. Selain itu, aku juga lagi senang sekali buat konten tentang pendidikan, dan sekarang juga lagi mengembangkan platform belajar literasi dan numerasi. Namanya Smartick Indonesia, untuk anak usia 4-14 tahun. Berbekal pengalaman mengajar selama 4 tahun, aku melihat bahwa kecakapan literasi dan numerasi itu enggak sekadar bisa dilakukan saat sekolah, tapi justru stimulasinya perlu dilakukan sejak dini.

Selain itu, miskonsepsi di masyarakat juga yang menganggap kalau belajar matematika itu langsung angka, langsung rumus yang bikin pusing, padahal enggak seperti itu. Matematika itu erat kaitannya sama berpikir logis dan kemampuan bernalar, misalnya membandingkan banyak dan sedikit, lebih besar dan lebih kecil. Jadi, platform ini mengenalkan anak pada literasi dan numerasi dengan cara yang menyenangkan.

Apa harapan Galih untuk pendidikan di Indonesia?

Harapanku datang dari kesadaran bahwa ternyata pendidikan bukan cuma bisa dikerjakan sama guru dan pemerintah. Kita butuh gotong royong bersama orang tua. Orang tua itu pilar utama yang menentukan keberhasilan pendidikan seorang anak. Apalagi pendidikan itu tidak serta merta dipengaruhi minat bakat, tapi juga oleh kultur sosial, di mana dia tinggal, bagaimana masyarakat di sekitarnya, itu memengaruhi pola pikir dan tingkah laku anak.

Guru akhirnya harus punya satu keahlian bagaimana anak yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda bisa terpenuhi kebutuhannya. Nah, hal ini enggak akan berhasil kalau kita memisahkan bahwa pendidikan hanya tugas guru di sekolah. Semua punya pengaruh, termasuk masyarakat awam, terutama di era media sosial saat ini. Jadi, harapannya semua orang sadar bahwa kita semua punya peran dalam pendidikan anak-anak kita.

Aku akan kasih Aruna kebebasan yang terarah, jadi dia punya ruang untuk tahu dia tuh sukanya apa dan supaya bisa tahu itu, dia harus nyoba semua hal.

Lalu apa harapan Galih untuk Aruna dalam hal pendidikan?

Harapannya semoga Aruna bisa mengeksplorasi semua potensinya, karena aku merasa itu satu hal yang waktu aku tumbuh aku belum sadar aku itu kuatnya di mana, lemahnya di mana. Aku akan kasih Aruna kebebasan yang terarah, jadi dia punya ruang untuk tahu dia tuh sukanya apa dan supaya bisa tahu itu, dia harus nyoba semua hal.

Nah, aku merasa dulu aku enggak bisa mencoba semua hal. Harapannya dengan punya bekal itu tadi, dia bisa menjalani semuanya dari hati. Jadi, misalnya pun nanti dia bisa kuliah di luar negeri, itu bukan serta merta karena ingin membanggakan bapak ibunya, tapi karena memang itu kesadaran dia sendiri.

Galih juga sering membagikan pengalaman sebagai seorang sandwich generation, lalu bagaimana caranya agar kelak Aruna tidak mengalami hal yang sama?

Pertama, harus sadar dan ngerti kalau kita punya masalah. Harus menerima dulu keadaannya seperti apa. Nah, aku sudah di tahap bisa menerima itu semua, jadi bisa mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya.

Sekarang aku dan suami belajar finansial yang lebih baik itu seperti apa, supaya nanti tidak terulang pada Aruna. Salah satunya, ya, soal biaya pendidikan sampai nanti dia kuliah bagaimana. Termasuk juga punya dana pensiun sendiri, supaya nanti walaupun Aruna sudah berdaya dan punya penghasilan sendiri, kami enggak mengganggu keuangan dia.

Ternyata realita itu enggak selalu berjalan sesuai rencana kita, meski perencanaan yang kita buat sudah sedetail itu. Kayaknya itu ya, seninya jadi ibu dan orang tua.

Apakah semua yang dijalani saat jadi ibu sudah sesuai dengan bayangan Galih sebelumnya?

Sama sekali enggak, ya. Bahkan dari awal nikah aku sudah banyak baca buku-buku parenting, merasa wah aku udah siap nih, punya anak, ternyata enggak. Ternyata realita itu enggak selalu berjalan sesuai rencana kita, meski perencanaan yang kita buat sudah sedetail itu. Kayaknya itu ya, seninya jadi ibu dan orang tua.

Pada akhirnya kita harus punya skill adaptasi, menyesuaikan apa yang memang ternyata enggak sejalan dengan apa yang kita rencanakan dan enggak terlalu larut dan merasa gagal tapi justru jadikan itu sebagai pembelajaran, supaya kita bisa jadi orang tua yang lebih baik lagi.

Momen apa yang paling mengagetkan saat jadi ibu?

Aku sadar bahwa anak-anak yang bisa tumbuh dengan bahagia, dalam artian juga sehat itu karena orang tuanya punya support system, termasuk pengasuh. Buat kita ibu bekerja, punya pengasuh yang memang benar-benar sejalan dan sayang juga sama anak kita, ternyata itu privilege yang enggak semua orang bisa dapatkan. Nah, itu yang aku tidak persiapkan, karena aku pikir ya, sudahlah nanti tinggal cari pengasuh saja, ternyata banyak dramanya. Dan akhirnya yang kena dampaknya tuh anak.

Apa tantangan terbesar Galih saat masih menjadi guru, sementara ada anak yang harus diperhatikan juga?

Menjaga agar energi aku tetap utuh. Setelah pulang kerja kan capek, tapi di satu sisi ada anak yang sudah nunggu kita pulang dan inginnya kita tetap dalam keadaan happy dan enjoy main sama dia, tapi kan itu sulit sekali. Akhirnya karena energi dan stamina yang tidak terjaga, emosinya sulit terkendali, itu sih tantangan yang aku rasakan.

Lalu bagaimana cara Galih menghadapi tantangan tersebut?

Bersyukurnya sejak awal menikah, aku dan suami sudah berkomitmen bahwa mengasuh anak itu tugas berdua, walaupun kita berdua sama-sama bekerja. Dan kami enggak berprinsip kalau mengasuh anak itu mesti 50-50. Ada kalanya lebih banyak suami yang pegang Aruna kalau aku pas lagi banyak kegiatan, begitu pun sebaliknya. Jadi, ya, kami saling back up saja.

Harapannya Aruna juga bisa dekat dengan kami berdua, bukan salah satu saja. Selain itu juga supaya dia tahu kalau ibu bapaknya butuh waktu sendiri sejenak, supaya kemudian bisa membersamai dia dengan baik.

Mana yang lebih susah, mengurus anak sendiri atau mengurus murid-murid di sekolah?

Dua-duanya, deh. Tapi, kalau di sekolah itu kan bukan anak-anak sendiri, jadi triple challenge-nya. Muridku di kelas ada 32 anak, yang latar belakang keluarganya beragam dan mungkin mereka tidak seberuntung Aruna yang orang tuanya hadir dan lengkap meski keduanya sama-sama bekerja. Murid-muridku tuh banyak yang enggak punya orang tua yang lengkap, rumah tinggal yang layak. Jadi, ya, kenapa lebih susah mengurus murid di sekolah karena mereka memiliki kebutuhan emosi dan kebutuhan lain yang tidak terpenuhi. Jadi, peran aku di situ juga penting buat mereka, sebagai guru sekaligus sebagai ibu buat mereka di sekolah.

(M&B/RF/Photographer: Lintang Sukmana/Digital Imaging: Raghamanyu Herlambang/Stylist: Gabriela Agmassini/MUA: Aksismipi (@aksismipi_mua)/Hair Stylist: Anto (@anto_cimpring)/Wardrobe Galih Sulistyaningra: Keatas (@keatasofficial)/Wardrobe Aruna: Lovedede (@lovedede.id))