Wanita dan pria merupakan sosok dengan karakter yang berbeda. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa wanita lebih mengutamakan perasaan, sedangkan pria cenderung berpikir dengan logika. Lantas apakah fenomena ini membuat anak laki-laki lebih pintar di mata pelajaran eksak seperti matematika dan sains?
Pertanyaan tersebut telah lama diperdebatkan. Tidak sedikit ahli yang menganggap bahwa aktivitas otak dan hormon membuat anak laki-laki lebih pintar menghadapi soal matematika sejak dini. Tapi faktanya hingga saat ini belum ada penelitian yang benar-benar mampu membuktikan klaim tersebut.
"Sudah banyak teori tentang potensi yang dimiliki anak laki-laki maupun perempuan, tapi kebanyakan belum teruji secara neurobiologi. Faktanya, ilmu pengetahuan tidak sejalan dengan mitos yang beredar di kalangan masyarakat," ungkap Jessica Cantlon, PhD, seorang profesor di bidang perkembangan neuroscience di Carnegie Mellon University di Pittsburgh, seperti dilansir WebMD.
Dalam salah satu penelitiannya, Cantlon menggunakan mesin functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk memindai aktivitas otak pada 104 anak-anak berusia 3 hingga 10 tahun, saat mereka tengah menyaksikan video edukasi serta soal-soal matematika.
Saat membandingkan aktivitas area otak dan pola yang terbentuk, tidak terlihat perbedaan statistik antara anak laki-laki dan perempuan. Dan saat menyelidiki tingkat kematangan otak, khususnya pada area yang diasosiasikan dengan kemampuan matematika, anak laki-laki dan perempuan memiliki kondisi yang serupa.
Sementara itu, pada penelitian sebelumnya yang melibatkan 500 anak dengan usia 6 bulan hingga 8 tahun, Cantlon menemukan fakta bahwa anak laki-laki maupun perempuan memiliki ketertarikan yang sama pada konsep yang melibatkan angka. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua jenis kelamin dalam hal kemampuan menghitung serta mengerti konsep matematika tingkat sekolah.
Perbedaan baru muncul ketika anak-anak memasuki kelas tiga sekolah dasar. Memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi (high school), anak laki-laki memang memiliki kecenderungan menorehkan nilai lebih tinggi dalam tes matematika. Namun perbedaan kemampuan antara anak laki-laki dan perempuan itu tidak terlalu mencolok.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa hanya sepertiga mahasiswi di Amerika Serikat yang menempuh pendidikan di bidang matematika dan sains. Dan memasuki masa kerja, pria yang bekerja di bidang sains unggul 4:1 dari wanita.
"Jika anak laki-laki dan perempuan memiliki aktivitas dan mekanisme otak yang sama, lantas mengapa pada akhirnya lebih banyak mahasiswa laki-laki di bidang sains, teknologi, mesin, dan matematika? Jawabannya ada pada faktor sosial," ungkap Cantlon.
Aspek Sosial
Persepsi bahwa anak laki-laki lebih pintar matematika ketimbang perempuan telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat. Alhasil, orang tua dan guru memiliki kecenderungan untuk menerapkan perlakuan yang berbeda berkaitan dengan hal yang tersebut, terhadap anak laki-laki dan perempuan.
Dalam salah satu penelitian pada 2015, ditemukan fakta bahwa orang tua memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktu bermain dengan puzzle, blok mainan, dan permainan 'membangun' lainnya dengan anak laki-laki ketimbang perempuan.
Kebiasaan inilah yang membuat anak laki-laki tumbuh menjadi sosok yang lebih mahir di bidang matematika dan sains. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa guru cenderung menghabiskan waktu lebih lama untuk mengajarkan konsep matematika dan sains kepada anak laki-laki di kelas.
Belum lagi kebudayaan populer atau pop culture yang seakan ikut mengonfirmasi bahwa ilmu pengetahuan eksak seperti matematika adalah untuk anak laki-laki. Perusahaan mainan Mattel pertama kali merilis Teen Talk Barbie yang notabene permainan anak perempuan pada 1992, mereka mempopulerkan kalimat "Math class is tough" atau pelajaran matematika itu sulit. Hal-hal semacam inilah yang nantinya memiliki andil dalam pembentukan karakter otak seseorang di masa depan.
Jadi Moms, pada dasarnya anak laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam bidang matematika. Hanya saja, aspek sosial akan memengaruhi aktivitas otak mereka memasuki usia dewasa. Namun hal tersebut tentunya bisa dicegah dengan menerapkan perlakuan yang sama terhadap anak laki-laki dan perempuan. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)