Satu dari 5200 bayi terlahir dengan kondisi tidak dapat mendengar atau yang biasa disebut tuli. Kondisi tuli bawaan (kontigenital) dapat terjadi karena diturunkan secara genetis mau pun non genetis, seperti infeksi dan trauma. Adapun yang dapat menyebabkan infeksi tersebut adalah TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Citomegalovirus, Herpes, Sifilis), campak dan parotitis.
Gangguan pendengaran ini umumnya terjadi pada trimester pertama kehamilan. Untuk mencegahnya, dr. Soekirman Soekin, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes, Ketua Perhimpunan Ahli THT Bedah Kepala Leher (PERHATI-KL) sangat menyarankan kepada wanita untuk melakukan imunisasi MR (Measless dan Rubella) pra nikah agar para calon ibu terhindar dari infeksi.
Selain pencegahan, deteksi dini juga dapat dilakukan terhadap bayi sebelum pulang pada hari ke-2 dengan tes OAE, fungsi koklea, serta penetapan ambang dengar bayi dengan BERA dan ASSR. "Jika bayi tidak merespons saat mendengar suara, maka patut dicurigai," tutur dr. Soekirman dalam acara Media Briefieng "Indonesia Mendengar Masa Depan Gemilang" yang diselenggarakan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bila setelah serangkaian tes membuktikan Si Kecil positif mengidap kontigenital, maka alat bantu dengar dapat dipasang sejak usia 4 bulan sebagai langkah lanjutan.
Masalah pendengaran membutuhkan penanganan serius. Selain dampak langsung yang terjadi secara fisik, dalam jangka panjang gangguan ini dapat menimbulkan rasa kurang percaya diri dan penurunan prestasi akibat kendala dalam komunikasi. Untuk itu, pencegahan dan penanganan tepat perlu dilakukan demi masa depan cerah Sang Buah Hati. (Claudia Carla Sonia Septiara/HH/Dok. M&B)